Mohon tunggu...
Mas Mpep
Mas Mpep Mohon Tunggu... -

Pernah tinggal di Lampung, Solo dan Tegal, serta intim dengan Jogja dan Banjarnegara. Berminat pada Sosiologi, Gerakan Mahasiswa, buku, dan film, termasuk jalan-jalan untuk mengagumi kota, kuliner, sejarah, dan budaya pada umumnya. Selalu belajar menulis meskipun sebagian besar naskahnya ditolak banyak redaktur. Saat ini hastiyanto.wordpress.com dan masmpep.wordpress.com menjadi mainan barunya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Cium Tangan

27 Oktober 2010   02:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:04 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Minggu pagi. Karena kebetulan sedang ada acara di Wonogiri satu hari sebelumnya, saya mengontak beberapa teman organisasi yang masih ada di Solo dan adik-adik yunior di organisasi untuk menghabiskan pagi di boulevard (bekas) kampus kami. Sembari sarapan rupa-rupa jajan, satu persatu teman datang, tentu sebagian besar yang lain izin seorang-seorang via sms: ada yang sedang keluar kota, ada acara keluarga, atau alasan lain yang dibuat-buat, yang intinya tak bisa hadir. Adik-adik yunior organisasi saya juga datang, berboncengan sepeda motor. Sebagian tak saya kenal, karena memulai kuliah setelah saya tak di kampus itu lagi. Tak apa.

Adik-adik yunior menghampiri saya, dan serta merta mencium tangan saya. Pada awalnya saya kaget, namun sambil mencari-cari jawaban yang filosofis, saya memberikan punggung tangan saya untuk dicium. Kaget, karena sepanjang pengalaman saya menjadi mahasiswa, tapi pernah kami mencium tangan senior, seberapapun tuanya, atau seberapapun berkuasanya ia (agak hiperbola, maksudnya seberapa berpengaruhnya dia karena pekerjaannya kini, bagi bangsa ini). Awalnya saya menduga-duga, mungkin karena saya sudah lama meninggalkan kampus, sehingga dikira oleh adik-adik mahasiswa ini saya sudah tua.

Namun pandangan saya segera keliru. Adik-adik mahasiswa angkatan 2010, alias angkatan paling akhir, juga mencium tangan kakak-kakak kelasnya, angkatan 2009 ke belakang. Sambil mencomot cenil saya mangangguk-anggukan kepala sendiri, tanda sedang berpikir. Saya kira mencium tangan telah menjadi tradisi baru, setidaknya dua-tiga tahun belakangan ini. Saya mengingat seorang teman, sekira sepuluh tahun lalu ketika banyak mahasiswa mentradisikan kultur baru: berjabat tangan sambil mengucap salam sebagai sesama muslim, dan aktif mengintroduksi nomenklatur-nomenklatur arabia semacam: afwan, akhi, antum, ifthor. Kawan saya itu mengapreasiasinya sebagai sebuah pembentukan tradisi. Saat itu saya pun diam-diam mengamati, tentu saja sebagai sosiolog-kapiran. Setiap perubahan sosial, yang ditandai oleh introduksi perilaku baru yang diinisiasi secara mengglobal, tentu menarik untuk diamati, tepatnya ditonton dari sayup-sayup kejauhan.

Lalu, bagaimana seorang sosiolog-kapiran mendudukkan gerakan-perilaku-baru, yang dalam bahasa lebih keren: purifikasi, atau penajaman identitas, dan semacam itu, dengan perilaku yang dibiasakan adik-adik yunior saya ini: mencium tangan, siapa pun yang dianggapnya tua. Tanpa tahu maknanya?

Makna mencium tangan? Tanpa sempat membaca buku referensi, saya kira mencium tangan merupakan tradisi bangsa ini sejak lama, sejak kita semua ini pernah kecil dulu. Lalu, apa istimewanya? Jelas istimewa saya kira. Karena, cium tangan pada masa-masa lampau diperuntukan bagi orang yang dituakan. Orang yang dituakan tentu berbeda makna dengan orang tua. Apalagi orang sekedar tua karena lebih dulu lahir. Cium tangan, menurut pengalaman kelampauan saya bermakna ketakziman.

Seorang muda, memberi hormat, takzim, dengan mencium tangan orang yang dituakannya, dihormatinya. Cium tangan saya kira paralel dengan tradisi munjungan, alias mengirim hantaran kepada orang yang dituakan, dan dihormati ketika orang Jawa menggelar hajat. Dalam versi kekinian yang diwaspadai oleh KPK secara cermat, apalagi kalau bukan parcel.

Hormat, takzim, dituakan. Karena itu tak semua orang yang dituakan dengan senang hati menganggap dirinya tua dan hormat. Makna takzim berkebalikan dengan perlindungan dan pengayoman. Seseorang yang diberi penghormatan, wajib ain hukumnya memberi perlindungan dan pengayoman kepada mereka yang menghormatinya. Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting menulis adik-adik Raden Ngabei yang kesulitan hidup menyatakan pasrah bongkokan kepada sang kakak, Ngabei yang karena usaha istrinya berjualan batik di Pasar Klewer hidup berkecukupan. Tak seperti umumnya bangsawan yang tak dapat mengikuti gerusan laju zaman yang kapitalistik. Pasrah bongkokan dapat berarti menyerahkan jiwa raganya dalam perlindungan dan pengayoman sang kakak. Meskipun pada akhirnya Ngabei berujar: tak usah menyalahkan kapitalisme, tak usah menyalahkan nasionalisme (maksudnya merosotnya kewibawaan keraton). Semua (harus) bekerja. Semua (harus) berusaha.

Potret perubahan sosial di Solo pada masa-masa setelah perang kemerdekaan hingga tahun 1970-an dalam Canting memang tidak secara khusus menyebut soal cium tangan. Namun pasrah bongkokan saya kira adalah bentuk ideal dari penghormatan yang berkebalikan dengan pengayoman yang diharapkan.

Dalam konteks masyarakat santri, misalnya mencium tangan ulama dan keluarganya juga dimaknai sebagai penghormatan berkebalikan dengan keutamaan ulama yang diharapkan terpancar kepada dirinya. Keutamaan ini dalam konteks rasul disebut syafaat. Saya bersyukur, pernah mencecap penghormatan santri meskipun saya tak memiliki keutamaan yang diharapkannya. Ceritanya, seorang kawan saya semasa SMP tercatat sebagai putera seorang kiai di kecamatan kami yang memimpin pondok pesantren. Hampir setiap siang selepas pulang sekolah, saya ‘belajar kelompok’ bersama anak sang kiai. ‘Belajar kelompok’ di sini maknanya adalah: sedikit belajar mengerjakan tugas, dilanjutkan mengobrol, menonton televisi, atau melempari mangga di sawah belakang pondok. Karena putera pak kiai dihormati oleh santrinya layaknya seorang Gus, maka saya juga sedikit banyak dihormati sebagai ‘temannya Gus’.

Saya mendapati banyak orang yang segera menarik punggung tangannya ketika disambut cium oleh orang lain. Saya kira orang-orang model ini memahami betul soal penghormatan, ketakziman, pengayoman dan keutamaan. Sebagian yang lain justru menikmati ketika punggung tangannya disruput hidung banyak orang.

Soal makna cium tangan sudah. Soal cara mencium tangan, ternyata perlu kajian hermeneutika tersendiri. Pada masa-masa lampau, saya hanya tahu mencium tangan dengan satu cara: meraih dengan lembut punggung tangan orang yang kita hormati. Dan secara takzim pula meletakkannya di depan hidung, atau sekurang-kurangnya di kening. Cara ini pula yang diperlihatkan Habibie ketika mencium tangan Soeharto dalam gambar foto yang sampai pada kita sekarang. Juga ciuman tangan Sudi Silalahi kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Atau cium takzim Anggodo Widjojo kepada (mantan) Jaksa Wisnu Subroto.

Karena cium takzim ini pula, saya sering benar-benar mencium aroma tangan orang yang saya hormati. Seorang sahabat saya, dari keluarga santri yang taat pernah bercerita pengalamannya mencium tangan sejumlah kiai. Banyak kiai merupakan orang yang zuhud atau asketik. Tapi tak sedikit juga yang banyak bergaul, memberi kontribusi sosial bagi masyarakatnya. Tak heran, bila mencium tangan (sebagian, tentu saja) pak kiai, tercium aroma.... sate kambing. Saya mohon maaf kepada teman saya karena telah membongkar rahasia ini. Saya kira teman saya itu hanya sedang ngidam sate kambing saja, di sela-sela padatnya jadwal santri sebagaimana diceritakan dalam Negeri 5 Menara oleh A. Fuady.

Jadi jelas, mencium tangan diletakkan dihidung atau kening. Karena itu saya shock ketika adik-adik kita generasi zaman akhir mencium tangan orang yang dituakan di... sebelah pipinya. Pipi? Ya, ketika seorang siswi berprestasi (kalau tak salah UN, atau olimpiade) diundang SBY ke istana dan mencium tangan sang presiden di pipinya. Dari literatur cara bercium tangan yang saya lihat sekilas di google, tak ada model cium tangan dengan punggung tangan diletakkan di pipi. Tengok saja cium tangan Anas Urbaningrum atau Margiono kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Atau cium tangan Dian Sastro kepada suaminya Indraguna Sutowo sesaat setelah ijab kabul pernikahannya.

Jadi, saya belum tahu apakah nanti saat akan pamit dari boulevard ini untuk pulang ke kota saya sekira sembilan jam perjalanan bus dari Solo, akan memberi punggung tangan saya untuk dicium adik-adik yunior, atau segera menariknya. Cenil sudah habis, tapi  tahu kupat baru datang. Es teh sudah tambah satu gelas lagi sedang matahari mulai tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun