Karena cium takzim ini pula, saya sering benar-benar mencium aroma tangan orang yang saya hormati. Seorang sahabat saya, dari keluarga santri yang taat pernah bercerita pengalamannya mencium tangan sejumlah kiai. Banyak kiai merupakan orang yang zuhud atau asketik. Tapi tak sedikit juga yang banyak bergaul, memberi kontribusi sosial bagi masyarakatnya. Tak heran, bila mencium tangan (sebagian, tentu saja) pak kiai, tercium aroma.... sate kambing. Saya mohon maaf kepada teman saya karena telah membongkar rahasia ini. Saya kira teman saya itu hanya sedang ngidam sate kambing saja, di sela-sela padatnya jadwal santri sebagaimana diceritakan dalam Negeri 5 Menara oleh A. Fuady.
Jadi jelas, mencium tangan diletakkan dihidung atau kening. Karena itu saya shock ketika adik-adik kita generasi zaman akhir mencium tangan orang yang dituakan di... sebelah pipinya. Pipi? Ya, ketika seorang siswi berprestasi (kalau tak salah UN, atau olimpiade) diundang SBY ke istana dan mencium tangan sang presiden di pipinya. Dari literatur cara bercium tangan yang saya lihat sekilas di google, tak ada model cium tangan dengan punggung tangan diletakkan di pipi. Tengok saja cium tangan Anas Urbaningrum atau Margiono kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Atau cium tangan Dian Sastro kepada suaminya Indraguna Sutowo sesaat setelah ijab kabul pernikahannya.
Jadi, saya belum tahu apakah nanti saat akan pamit dari boulevard ini untuk pulang ke kota saya sekira sembilan jam perjalanan bus dari Solo, akan memberi punggung tangan saya untuk dicium adik-adik yunior, atau segera menariknya. Cenil sudah habis, tapi  tahu kupat baru datang. Es teh sudah tambah satu gelas lagi sedang matahari mulai tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H