Mohon tunggu...
Mas Mpep
Mas Mpep Mohon Tunggu... -

Pernah tinggal di Lampung, Solo dan Tegal, serta intim dengan Jogja dan Banjarnegara. Berminat pada Sosiologi, Gerakan Mahasiswa, buku, dan film, termasuk jalan-jalan untuk mengagumi kota, kuliner, sejarah, dan budaya pada umumnya. Selalu belajar menulis meskipun sebagian besar naskahnya ditolak banyak redaktur. Saat ini hastiyanto.wordpress.com dan masmpep.wordpress.com menjadi mainan barunya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jelajah Lampung

31 Desember 2009   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:42 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas Metro jangan lewatkan Sukadana, dan terutama Menggala yang dapat ditembus melalui Jalintim. Sukadana merupakan ibukota Lampung Timur. Sedang Menggala yang berada di utara-timur Lampung merupakan ibukota Tulang Bawang. Tulang Bawang adalah kerajaan yang sejaman dengan Sriwijaya di Palembang. Sukadana dan Menggala merupakan kota tua di Lampung. Satu waktu saat akan ke Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, saya melintasi Sukadana. Kota ini memang otentik Lampung: rumah-rumah panggung dari kayu ulin yang kukuh, halaman rumah yang luas, dan penduduknya yang masih memegang teguh tradisi. Menggala memang belum pernah saya kunjungi. Namun otensitas kelampungan Menggala lebih nyata. Rumah-rumah panggung penduduk masih banyak berjajar rapi di jalan-jalan sempit Menggala. Sungai-sungai yang membelah kota serupa kanal-kanal, apalagi di kota ini memang pernah terdapat pelabuhan transito internasional pada masanya, tepatnya sebelum abad pertengahan. Kondisi ini membuat Menggala mendapat julukan Parijs van Lampung. Di Menggala pula, Hollands Inlandsche School (HIS) atau sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda pertama kali didirikan di Lampung selain di Teluk Betung.

Perjalanan dapat kembali melalui Jalinteng kembali. Menuju Kotabumi. Dan Way Kanan. Sesaat mendekati Kota Bumi kita akan melintasi Blambangan Pagar. Kawasan ini juga otentik Lampung: rumah-rumah panggung di kiri-kanan Jalinteng. Bahkan kita dapat mengintip nuwo sesat, rumah adat Lampung yang posisinya persisi di tepi jalan. Bila beruntung, ketika melintasi kawasan ini kita dapat bertemu dengan iring-iringan penduduk yang sedang melaksanakan upacara adat begawi, atau upacara pemberian gelar adat (adok) pada pemimpin adat (penyimbang atau saibatin).

Memasuki Kotabumi kita akan disambut bunderan, dengan tugu berornamen gajah tepat di tengahnya. Perjalanan masih panjang. Kita dapat meneruskannya hingga Way Kanan menuju Blambangan Umpu. Ibukota Kabupaten Way Kanan ini kini sedang mematut diri. Namun pesona otensitas Lampungnya belum pudar. Saya tak mungkin lupa, sebagian masa liburan sekolah saya saat kanak-kanak dulu dihabiskan di kota ini, di rumah kakek saya. Penduduk Blambangan Umpu umumnya orang asli Lampung. Kakek saya bermukim di kota ini sejak tahun 1960an. Hingga tahun 1990an, di pusat kota Blambangan Umpu populasi orang Jawa tak sampai sepersepuluh jumlah penduduk. Saya yang kerap berlibur ke kota ini beruntung dapat tinggal di kota yang otentik dengan nuansa Lampung. Rumah panggung berbaris rapi di kanan kiri jalan, dengan satu dua rumah yang menjejak tanah. Rumah kakek saya salah satunya dari sedikit rumah yang menjejak tanah.

Sesaat setelah mandi sore saya suka kerap diajak bibi silaturahim ke tetangga. Menaiki rumah panggung. Semula saya khawatir lantai papan yang tebal—anda dapat membayangkan serupa bantalan rel kereta api—akan berderak bila diinjak. Namun saya keliru. Rumah panggung ini semakin tua semakin kukuh. Lantainya licin dan mengilap, karena tetangga kakek saya umumnya cukup rajin, mengepel dua kali sehari. Saya masih ingat kadang-kadang diajak turut makan malam. Makan malam di wilayah ini dimulai sejak pukul 17.00. Agak berbeda dengan kebiasaan kami yang makan malam ‘selepas maghrib’, atau 18.30. Menu yang disajikan masih otentik Lampung. Salah satunya sambal seruit, yakni sambal terasi, diaduk menjadi satu bersama tempoyak—fermentasi durian, ikan bakar, dan terong bakar. Bila anda belum familier dengan tempoyak, bolehlah mencoba sedikit-sedikit. Saya baru mampu menikmati tempoyak—hingga kini—setelah menginjak kelas dua Sekolah Menengah Pertama.

Lampung memang tak lekang dari kenangan saya. Sambil menghimpit rindu untuk mengunjunginya lagi, saya terngiang syair Sang Bumi Ruwa Jurai karangan Syaiful Anwar: Jak ujung Danau Ranau, Teliu di Way Kanan, Sampai pantai lawok jaoh, Pesisir rik Pepadun. Teringat dengan kejayaan kopi, lada, dan bentang alamnya: Kik ram aga burasan, Hujau ni pemandangan, Kupi lada di pematang, Api lagi cengkeh ni, Telambun beruntaian, Tanda ni kemakmuran. Saya menundukkan kepala, hening sejenak. Teringat janji menggetarkan yang dipopulerkan Sjahroedin Z.P: Demimu Lampungku, Padamu Bhaktiku...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun