Tak ke Semarang kalau tak mampir ke Lawang Sewu. Ya. Ya. Gedung milik Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) ini dibangun pada tahun 1903 dan selesai pada tahun 1907. Posisinya persis di seberang bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelmina Plein. Di Bundaran ini pula Pertempuran Lima Hari di Semarang meletus, sejak 14 Oktober-19 Oktober 1945. Lawang Sewu disebut demikian karena dianggap berpintu seribu. Meskipun jumlah pintunya tak sebanyak itu, dan yang dikira pintu oleh banyak orang sebenarnya adalah jendela yang tinggi dan lebar. Lawang Sewu memiliki dua menara kembar di muka yang secara arsitektural menarik, serta secara praktis dimanfaatkan sebagai tangki air.
Saya belum pernah menjejak kaki di Lawang Sewu. Saya justru berminat menikmati Museum Mandala Bhakti yang memajang meriam arteleri di sisi Tugu Muda yang lain. Atau menikmati arsitektur Gereja Katedral Randusari di sisinya yang lain lagi. Atau Wisma Perdamaian yang menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Tengah. Sayang, semuanya hanya dapat dinikmati sekilas saat melintasi lampu merah Tugu Muda. Museum lebih banyak tutup, atau mengesankan tutup dan sepi. Wisma Perdamaian? Ah, tampaknya tak dibuka untuk umum, kecuali saya menjadi tamu gubernur. Lawang Sewu? Mau melihat apa, karena tampaknya di dalam gedung sebesar itu tak ada isinya. Gereja Katedral Randusari? Saya tak ingin menjadikan tempat ibadah sebagai ‘obyek wisata’ dengan berpotret-potret dan senda gurau. Jadi, cukup mengintip selintasan kejap dari jendela bus kota—meskipun pengin juga seperti Arbain Rambey mengabadikan kawasan Tugu Muda melalui lensa kameranya dari jendela pesawat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H