Mohon tunggu...
Emanuel S Leuape
Emanuel S Leuape Mohon Tunggu... -

Alumni Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana-Kupang, NTT\r\n dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Membela" Prabowo

7 Juni 2014   22:08 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:47 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerusuhan 12-15 Mei 1998 menjadi satu titik revolusi besar bangsa dan negara Indonesia setelah sekian lama kemerdekaannya 17 Agustus 1945. Perjuangan mahasiswa dan pelbagai elemen masyarakat kala itu akhirnya harus memaksa pimpinan Orde Baru Soeharto untuk mengundurkan diri dari kuasa kepresidenannya. Akan tetapi perjuangan itu harus dibayar mahal oleh harta benda dan bahkan ribuan nyawa bangsa ini. Inilah yang terjadi dan itu fakta. Pasca pucak masa transisi itu, kembali pemerintahan yang baru dihadapkan pada salah satu tugas dan kewajibannya untuk melakukan tindak penyelidikan dan pengusutan terhadap adanya pelanggaran HAM berat selama masa perjuangan itu, maka dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Ini juga merupakan rekomendasi dari sejumlah tokoh dan LSM yang memang mengetahui secara persis berlangsungnya tindak pelanggaran HAM berat. Hasilnya, temuan TGPF menemukan dan membenarkan adanya pelanggaran HAM berat dan ini selanjutnya ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui pengadilan militer karena jelas adanya keterlibatan sekelompok oknum aparat Kopassus yang dikenal dengan nama “Tim Mawar”. Pengadilan itu pun hanya berkaitan dengan penculikan sejumlah aktivis. Prabowo sebagai atasan sejumlah tersangka yang diadili akhirnya diberhentikan dari jabatan kemiliterannya oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) sebagai bentuk pertanggungjawaban pimpinan atas kelalaian anak buahnya.

Atas apa telah terjadi, sejumlah kalangan merasa tidak puas dengan penyelesaian hukum pelanggaran HAM mei 1998 dengan berbagai macam dalil. Lantas bermunculan isu dalam bervariasi versi tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada pristiwa Mei 1998. Dalam kurun waktu 16 tahun sudah perjuangan demi perjuangan oleh Komnas HAM, LSM, dan pelbagai tokoh masyarakat menyeruhkan penuntasan kasus ini atas arogansi penguasa dan pihak penegak hukum negara saat itu. Terlepas dari benar-tidaknya isu yang mengalir hingga saat ini, kita kemudian perlahan lupa kekerasan kala itu juga dilakukan oleh massa yang adalah juga masyarakat. Kita mendengunkan kebobrokan moral penguasa tapi sekaligus kita juga mengabaikan kebiadaban sekelompok massa saat itu. Ada asumsi bahwa massa di provokasi oleh sekelompok orang, tetapi sebagai manusia sebegitu tegakah kita memperkosa, menganiaya, dan bahkan membunuh secara keji. Suara perjuangan komnas HAM, LSM, yayasan, tokoh-tokoh masyarakat hanya merujuk pada kesalahan beberapa orang dengan peran kekuasaan saat itu. Dalam konteks kehidupan bersama kita melegitimasi kekuasaan bagi orang tertentu untuk mengatur kehidupan kita akan tetapi kita kemudian tidak otomatis menjelma menjadi binatang yang tak punya kontrol moral secara individual. Di satu pihak, penyelenggara negara menjadi orang yang paling bertanggungjawab oleh karena gagal mengendalikan pristiwa Mei 1998, tetapi bagaimana juga pertanggungjawaban moral diberikan oleh pelaku (eksekutor) yang dengan sadar, tahu dan mau, langsung di depan mata tega menganiaya, memperkosa, dan membunuh sesamanya. Data korban mei 1998 sebagaimana yang dirilis oleh Tim Relawan bahwa 1190 orang meninggal dunia akibat terjebak dalam kebakaran/dibakar, 27 orang akibat senjata, dan 91 luka-luka. Banyak versi data soal jumlah korban pristiwa Mei 1998, tetapi data jumlah korban yang diyakini hingga kini ribuan nyawa. Di samping itu, TPGF juga menemukan tindak kekerasan seksual dalam beberapa kategori, di antaranya: korban pemerkosaan dengan penganiayaan: 14 orang, korban penyerangan/penganiayaan seksual: 10 orang, dan korban pelecehan seksual: 9 orang.

Merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 1 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, HAM didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orangdemi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sedangkan pelanggaran HAM dilihat sebagai setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku, seperti yang tercantum di dalam UU No. 39 tahun 1999 Pasal 1 angka 6. Berangkat dari konsep ini, maka ada beberapa hal yang dapat ditinjau sebagai berikut:

Pertama, dalam implementasi penegakan HAM, bentuk pelanggaran HAM diklasifikasi lagi menjadi 2, yaitu: pelanggaran HAM berat (UU No. 26 Tahun 2000) dan pelanggaran HAM ringan. Patokan distingsi ini terletak pada status pelaku pelanggaran, kepentingan, dan kuantitas kumulatif korban. Posisi penguasa dan aparat penegak hukum (aparat) tentunya disangkahkan masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat oleh karena lalai dalam mengantisipasi dan mengendalikan pristiwa Mei 1998 yang banyak menelan ribuan korban jiwa. Statusnya selaku penyelenggara negara lantas menjadikan mereka sebagai terduga / tersangkah pelanggaran HAM berat. Sementara bentuk kekerasan seksual dan pembunuhan oleh massa masuk dalam kategori pelanggaran HAM ringan (pidana). Yang terjadi selama ini adalah semata-mata seruan penuntutan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat sehingga kita lupa bahwa ada juga tindak pelanggaran HAM oleh sekelompok massa. Alasan ada provokasi oleh oknum tertentu, tidak dapat kita jadikan alasan bahwa massa sebagai sekelompok individu layaknya mesin yang mudah diperintahkan. Sebaliknya, massa adalah subyek yang punya kontrolmoral secara aktif atas apa yang etis dan tidak. Artinya, massa melakukan tindak kekerasan seksual dan pembunuhan secara sadar karena mereka adalah subyek aktif. Imanuel Kant menegaskan bahwa moral berkaitan dengan hal keyakinan serta sikap batin dan bukan hanya sekedar soal penyesuaian dengan beberapa aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, hukum agama/adat-istiadat. Kriteria mutu moral adalah hak kesetiaan terhadap hatin nuraniya sendiri sebagai manusia utuh. Jika hukum manusia adalah upaya penegakan moral manusia, maka upaya hukum juga tidak seharusnya mengabaikan nilai-nilai keadilan moralitas. Oleh karena itu, sudah sepantasnya tuntutan penuntasan pelanggaran HAM peristiwa Mei 1998 juga harus ditujukan kepada upaya penyelidikan dan penyidikan secara spesifik terhadap pelaku secara individual atau kelompok yang menjadi eksekutor lapangan tindak pelanggaran HAM. Betapa biadapnya massa kala itu yang tega bertindak keji terhadap sesamanya dan karena mereka juga wajib dihukum apapun alasan tindakannya. Hal ini seharusnya juga ditekankan sehingga ke depannya tidak hanya ada rasa keadilan hukum, tetapi juga keadilan moralitas bagi korban. Tidak hanya kasus pristiwa Mei 1998, tetapi juga bagaimanamelihat dan mungkin mengalami bahwa penegakan hukum kita tak berdaya berhadapan dengan jumlah massa dan karenanya kita hanya mencari pihak yang bertanggungjawab. Ini merupakan bentuk efisiensi penegakan hukum dengan mengabaikan aspek moral. Jika ini dipertahankan maka sistem penegakan hukum kita akan terjebak di dalam bentuk pemahaman kolektif-legal, bahwa apa yang dilakukan oleh massa, sekalipun itu kekerasan adalah legal dan kita semata mempersalahkan pimpinannya. Padahal tuntutan tanggung jawab moral individual juga perlu tegakkan.

Kedua, diferensiasi dan klasifikasi bentuk pelanggaran HAM sebenarnya menyiratkan tidak adanya bentuk penghargaan kita terhadap hak asasi manusia itu sendiri. Cakupan tindakan pelanggaran HAM berat, yaitu: Genoside dan Kejahatan Melawan Manusia dan tindakan pelanggaran HAM ringan meliputi: pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik, pembatasan berpendapat, dan menghilangkan nyawa orang lain. Dalam konsep pengertian HAM sudah ditekankan bahwa hak asasi merupakan hak yang dianugerahi oleh Tuhan. Mulianya hak asasi juga dipertegas bahwa pelanggaran yang tidak sengaja sekalipun wajib dihukum. Seharusnya kita mengerti bahwa yang paling esensial dari tujuan upaya penegakan HAM dan hukumnya adalah tumbuhnya kesadaran dalam diri kita bahwa HAM adalah sesuatu yang mutlak dalam diri manusia dan harus dihormati dan dihargai keluhurannya sebagai anugerah Tuhan. Dengan membuat perbedaan tipologi pelanggaran HAM dan hukumannya mendistorsi kesadaran kita akan luhurnya HAM sekaligus melahirkan ketidakadilan dalam menghormati dan menghargai HAM. Tidak ada patokan atau acuan-acuan tertentu dalam menegakan HAM. Baik status pelaku pelanggaran HAM, kepentingan, maupun jumlah korban sama sekali tidak layak untuk dijadikan dasar dalam menilai tingkat keluhurannya HAM. Apapun bentuk pelanggaran HAM adalah satu kesalahan yang sangat fatal dan seharusnya dihukum seberat-beratnya. Sehingga baik bentuk kelalaian penanganan pemerintah dan aparat maupun tindak kekerasan seksual dan pembunuhan oleh massa yang diprovokasi sekalipun dalam pristiwa Mei 1998 sama-sama merupakan bentuk pelanggaran HAM sama porsi dan semestinya disikapi secara berimbang.

Menyimak judul di atas, perlu ditekankan bahwa opini ini tidak berorientasi pada kepentingan politis tertentu, tetapi lebih merupakan peninjauan upaya penegakan hukum yang lebih berimbang dalam cita rasa keadilan moralitas. Prabowo dan pihak-pihak yang selama ini diduga terkait pelanggaran HAM pristiwa Mei 1998, entah apa kebenarannya, juga seharusnya disikapi secara proporsional atas penuntutan pertanggungjawabannya. Bentuk tanggungjawab moral tiap individu yang bersalah mesti juga dituntut dan tidak bisa diwakilkan oleh penguasa atau aparat dengan pertimbangan apapun. Terminologi pelanggaran HAM berat yang dilekatkan pada Probowo dan pihak-pihak yang diduga perlahan mengkondisikan cita rasa penilaian tersendiri terhadap moralitas Prabowo dan pihak-pihak yang diduga. Pelanggaran HAM apalagi dalam kategori berat punya makna yang jauh lebih buruk dari pelanggaran HAM ringan. Padahal yang diperjuangkan adalah soal hak asasi manusia yang mutlak dan sama sekali tidak pantas dipetakan dalam tingkat kualitas maupun kuantitasnya. Kita sepakat telah terjadi pelanggaran HAM pada kasus Mei 1998, tetapi kita juga harus sepaham bahwa penyelesaian kasus ini juga harus adil sebagai bentuk pertanggungjawaban moralitas manusia bersama dan tidak dapat diwakilkan atau hanya menjatuhkan vonis kesalahan itu kepada Prabowo dan pihak-pihak yang diduga selama ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun