Dilansir dari laman resmi Mahkamah Agung, Artidjo memasuki masa pensiun pada 22 Mei 2018 lalu sejak menjadi Hakim Agung pada 2000.
"Dalam rentang waktu 18 tahun saya berkhidmat pada Mahkamah Agung, berkhidmat pada keadilan,” tutur Artidjo.
Artidjo juga pernah mengeluarkan beberapa buku, salah satunya berjudul "Artidjo Alkostar Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan".
Buku 445 halaman tersebut berisi pandangan kolega-kolega Artidjo terkiat dirinya, mulai dari pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, Pimpinan PolrI, dan yang lainnya.
Selain buku tersebut, Artidjo juga mengeluarkan dua buku lainnya yaitu Dimensi Filosofis Ilmu Hukum dan hukum Pidana (70 Tahun Artidjo Alkostar Mengabdi Kepada Bangsa dan Negara), dan Alkostar Sebuah Biografi yang ditulis oleh Puguh Windrawan.
Artidjo mengatakan bahwa hakim itu harus lebih pintar dari pembuat Undang-Undang, harus lebih pintar dari koruptor. Alangkah malangnya negeri ini, kata dia, jika hakimnya kalah pintar dari koruptor.
Baca juga: KPK: Kami Sangat Berduka atas Wafatnya Pak Artidjo Alkostar...
"Tidak melayani tamu yang ingin membicarakan perkara"
Begitulah kalimat di selembar kertas dengan tulisan berwarna hitam dan tertempel di sebuah pintu ruangan di lantai tiga Gedung MA.
Harian Kompas, 8 Juli 2001 mewartakan, itu "tanda" yang membedakan ruangan Hakim Agung Artidjo Alkostar dengan ruangan lain di gedung yang seharusnya menjadi orang menemukan keadilan tersebut.
Tulisan itu bukan untuk sok, tetapi begitulah Artidjo yang dikenal.
"Saya tak pernah mau membicarakan perkara yang sedang ditangani dengan tamu. Siapa pun boleh datang ke ruangan ini, tapi begitu mulai membicarakan perkara, pasti saya usir," papar suami Sri Widyaningsih itu.