Terlebih, menurut Juna, ia layaknya spons yang hanya menyerap hal-hal buruk dari pergaulannya saat itu.
“I’m the worse, saya itu dulu seperti spons . Jadi main sama grup sini bandelnya serap. Main sama grup sini, premanismenya serap. Main sama grup ini jagoannya serap. Cuma jadi spons tapi nyerap yang jelek jeleknya aja gitu lho. Bahkan, boleh dibilang salah satu yang paling muda, repot,” kata Juna.
Di Amerika, Juna ingin sekolah pilot karena tergoda dengan penghasilan seorang pilot, fasilitas selama pendidikan hingga akan mendapatkan sertifikat izin terbang.
Baca juga: Chef Juna: Dianggap Kejam Terserah, kalau Dibilang Sombong Saya Tentang
Sekolah yang dibayangkan akan menyenangkan ternyata jauh dari ekspektasinya karena harus menetap lebih lama untuk menyelesaikan pendidikannya dengan biaya sangat besar.
“It doesn't workout karena waktunya lebih dan dana abis. Mau nambah pakai uang sendiri atau bantuan orangtua, tapi tahunya ekonomi krisis. So, i’m survive, itu kan mulai kerja,” ucap dia.
Tanpa disadari, berada di Amerika untuk bertahan hidup membuatnya jadi pribadi yang lebih baik.
Pasalnya, di Amerika, Juna menghabiskan waktunya untuk bekerja di salah satu restoran dan tidak ada waktu untuk nakal.
“Banyak persitiwa yang akhirnya mendewasakan ya, dalam artian sadar diri posisi kita in life gimana, enggak bisa seperti dulu lagi,” tutur Juna.
Baca juga: Cerita Chef Juna Positif Covid-19 Usai Pulang dari Bali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H