Untuk alasan yang terakhir, Agung menampiknya. Sebab, banyak pemilik warung yang juga aktif di Facebook atau berkomunikasi via aplikasi Whatsapp.
Dari situ sebenarnya "empunya" warung sudah memiliki modal dasar. Hanya saja kata dia, tak ada aplikasi teknologi yang menyasar para pengusaha warung ini.
"Saya coba bantu salah satu warung, jaga warung, waktu itu masih pakai Excel. Saya coba catat penjualan pakai Excel itu sudah banget. Tiba-tiba ada yang beli 5 orang, tiba-tiba ada yang mau utang. Wow, ini dunia yang baru," kata Agung.
Baca juga: Mendag Ingin Pelaku Usaha Warung Kelontong Dapat Fasiltas KUR
Dari sanalah muncul ide untuk membuat Warung Pintar. Berbagai dukungan diberikan mulai dari dengan akses barang yang lebih murah, perangkat elektronik hingga pemanfaatan software guna menunjang usaha.
Satu per satu pemilik warung pun mulai bermitra dengan Warung Pintar sejak November 2017. Kini dalam kurun waktu 2 tahun saja, sudah ada 1.000 Warung Pintar di Jakarta dan sekitarnya.
Dengan dukungan teknologi serta riset yang mengedepankan tiga pilar, yaitu Internet of Things (IoT), big data analytics dan blockchain, pemilik warung merasakan keuntungan.
IoT digunakan untuk meningkatkan akurasi pemasukan data ritel, big data analytics untuk memahami perilaku para pelanggan, serta blockchain untuk menciptakan transparansi.
Upaya untuk mengangkat derajat warung kelontong setidaknya mulai terlihat dari naiknya penghasilan masyarakat yang bergabung dengan Warung Pintar.
"Kalau kita tarik average (rata-rata kenaikan penghasilan) sekitar 40 persen. Kalau lihat beberapa success story yang gila sih ada warung yang tadinya penghasilannya Rp 150.000 per hari, sekarang ada yang Rp 4 juta sehari," kata dia.