Setiap hari para tim sukses memperhatikan angka-angka elektabilitas dari balik layar, persis seperti pialang saham di bursa. Setiap angka yang menunjukan tanda negatif menjadi kabar buruk yang membuat mereka ‘blingsatan’ dan berpikir siasat baru untuk menaikan kandidat lewat strategi menjatuhkan kompetitor.
Lalu di sepanjang waktu melakukan monitoring dan social media audit memperhatikan ucapan, teks, tindakan dan sikap kandidat lain untuk dicari ‘borok’ dan cela. Salah sedikit langsung di-bully. Pola luka yang dicari-cari dan dibiarkan basah terus menerus.
Kita juga menyesal dengan apa yang terjadi dengan media, meski tidak seluruhnya. Ada saja wartawan yang malas turun ke lapangan, menyelami aslinya pertarungan politik langsung dari sumbernya, yang bisa mengujinya dengan realitas empirik, hingga akhirnya mendapatkan sintesis baru cara menghasilkan berita.
Mereka lebih senang memantau narasumber dari twit dan vlog. Menuliskannya melewati meja redaksi, jadilah produk berita ‘asal-asalan’ dibagi dan dialihpesankan oleh warganet (viral).
‘Kicauan dan ocehan’ jadi berita, sedikit balut sana sini dari mulai judul berita yang bersifat clickbait hingga isi yang menggoda pembaca lakukan clicking monkey. Dalam lirih, dari balik ‘jendela rumah’ saat menengok keluar ternyata situasi serupa terjadi di banyak negara, bahkan dalam satu titik tertentu hingga jadi konflik dan berkepanjangan.
U-turn
Melihat seluruh fenomena ini, ada baiknya kita mulai mengambil arah balik (U-turn) terhadap semua sengkarut tema kampanye yang ada saat ini, mengambil posisi lebih tenang dan menjaga jarak.
Mau tidak mau harus dimulai dari para ator politik dan pegiat media. Mulailah bicara yang benar terkait hal-hal yang subtansial. Dalam proses mediasi informasi itu melelahkan, namun setidaknya kita bisa merasakan dengan mudah ada kekacauan yang sedang terjadi.
Proses U-turn memang tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa dan cepat, sebagaimana kita akan memutar balik di jalan raya. Kemauan berdialog dan saling membuka diri adalah cara awal untuk memulai.
Meski berat situasi untuk berbalik mutlak dilakukan, daripada kita terus memaksakan kompetisi yang jalan dan arah tujuan tidak jelas. Sebelum kita terlalu jauh tersesat dan tidak menemukan ‘jalan pulang’. (Heryadi Silvianto, Dosen Fikom Universitas Multimedia Nusantara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H