SUKABUMI, KOMPAS.com - Langit mendung menggelayut siang itu di atas wilayah Desa Sekarwangi, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (10/11/2018).
Ratusan anak dari berbagai kampung di desa yang wilayahnya terletak di pinggiran kaki perbukitan Gunung Walat masih menimba ilmu di Sekolah Dasar Negeri (SDN) X.
Di antara para pelajar di SDN tersebut, terdapat salah satu anak berkebutuhan khusus, namanya Mukhlis Abdul Holik alias Adul yang berusia 8 tahun. Adul masih duduk di bangku kelas 3 SD tersebut.
Putra keempat dari empat bersaudara dari pasangan Dadan Hamdani (52) dengan Pipin (48) ini mengalami kelainan fisik pada bagian kedua kakinya sejak lahir dan kelainan pada bagian tenggorokan.
Adul yang lahir pada 8 April 2010 itu tidak bisa berjalan dengan normal seperti anak-anak lainnya. Bila berjalan harus merangkak, dibantu dengan kedua belah tangannya yang juga dijadikan sebagai tumpuan utamanya.
Baca juga: Korban Lion Air Murdiman, Rawat 40 Anak Yatim dan Ingin Bangun Pesantren
Namun, Adul yang tinggal di Kampung Cikiwul RT 01 RW 01 desa setempat itu punya semangat tinggi untuk menempuh pendidikan.
Padahal, untuk mencapai sekolahnya, ia perlu menempuh jarak sekitar 3 kilometer.
Dari rumahnya di kaki perbukitan Gunung Walat menuju sekolahnya, Adul harus melintasi jalan setapak yang menurun. Begitu sebaliknya, pulang sekolah Adul harus melintasi jalan menanjak.
Bila musim hujan seperti saat ini jalanan yang dilintasinya pun sangat licin dan cukup berbahaya. Bahkan dia pun harus menyeberangi selokan dengan memanfaatkan jembatan terbuat anyaman bambu.
''Perjalanan seperti ini sudah biasa setiap hari,'' ungkap ibunda Adul, Pipin saat berbincang dengan Kompas.com di sela perjalanan pulang dari sekolah menuju rumahnya, Sabtu siang.
Perjalanan naik turun di jalan setapak ini sudah rutin dilakukannya sejak Adul mulai duduk di bangku sekolah. Bahkan saat awal masuk kelas 1 hingga kelas 2, Adul harus digendong. Setelah masuk kelas tiga, Adul mulai terbiasa berjalan sendiri.
Untuk mencapai sekolahnya, memang tidak dilakukan dengan terus dengan berjalan kaki. Karena, setelah mencapai jalan desa, bisa menumpang motor ojek sekitar 1 kilometer dengan ongkos Rp7.000 sekali jalan.
''Kalau ada uangnya kami pakai ojek. Tapi kalau lagi enggak ada uang ya terpaksa berjalan kaki sampai sekolah begitu juga pulangnya,'' aku Pipin.
Sebenarnya, lanjut dia, perjalanan dari rumah ke sekolah bila menggunakan jalan kampung yang utama harus ditempuh sekitar 5 kilometer.
Saat ini, perjalanan pergi ke sekolah begitu juga pulangnya sudah bisa dilakukan dengan cara melintasi bagian dalam kampus SMA Pesantren Unggul Al Bayan.
Sehingga, jarak tempuhnya menjadi lebih singkat, hanya sekitar 3 kilometer.
''Alhamdulillah, kami sudah mendapatkan izin dari kepala sekolah Al Bayan. Sehingga perjalanan lebih singkat,'' tutur Pipin dengan rasa senang.
Semangat Adul
Sementara Adul setelah turun dari sepeda motor yang membawanya dari sekolah di halaman kampus Al Bayan, langsung dengan penuh semangat berjalan kaki, meskipun harus merangkak.
Sedangkan ibundanya dan kakaknya, Abdul Fatah Nurdin Salam (11) yang sudah duduk di kelas 6 SD itu mengikuti dari belakangnya.
Adul setiap hari harus melintasi beberapa anak tangga sebelum keluar dari kampus pesantren Al Bayan menuju jalan setapak menuju kampungnya.
Di jalan kampung, Adul pun harus menempuh perjalanan di atas jalan tanah yang pada musim hujan ini mulai basah dan licin.
Selain menyeberangi jembatan bambu di atas selokan, sebelum mencapai rumahnya harus melintasi jalan menanjak yang cukup curam.
''Ya setiap hari ditemani ibu. Kalau dulu masih digendong, sekarang sudah besar, sudah bisa jalan sendiri,'' ungkap Adul kepada Kompas.com setelah tiba di rumahnya.
Baca juga: Penting Dilakukan, Bagaimana Membiasakan Anak untuk Rinsing?
Adul yang penuh semangat untuk menuntut ilmu ini bercita-cita menjadi seorang petugas pemadam kebakaran. Selain itu, ternyata ada cita-cita yang lainnya yaitu menjadi dokter.
Alasannya menjadi petugas pemadam kebakaran, Adul menjawab agar bisa membantu orang yang membutuhkan.
''Ingin menolong orang lain,'' jawab Adul dengan suara parau karena terganggu tenggorokannya.
Begitu juga kalau menjadi dokter, lanjut dia, tujuannya juga sama, untuk membantu orang lain, terutama yang sedang mengalami sakit. Apalagi, Adul mengakui pernah beberapa kali diperiksa oleh dokter saat sakit.
''Waktu itu sakit panas, batuk dan sakit telinga. Sama dokter perutnya diperiksa dan dikasih obat, menjadi dokter bisa menolong orang yang sakit,'' tutur dia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H