Sementara wedang ronde aslinya adalah tang yuan, berupa bulatan dari tepung ketan, berisi daging cincang dan kuah kaldu.
Â
Dibawa masuk ke Indonesia oleh imigran Tiongkok, mungkin kurang pas di lidah penduduk lokal yang tidak terbiasa dengan rasa savory (gurih), dimodifikasilah dengan jahe dan gula merah, sementara bulatan dari tepung ketan dibiarkan polos.
Nama "tang yuan" bertransformasi menjadi ronde, dari bahasa Belanda rond – artinya bulat; orang Belanda sering menggunakan sufiks pengecil "tje", rond menjadi rondje; lama kelamaan bertransformasi menjadi ronde.
Sekoteng terdiri dari tiga kata – se ko teng, lagi-lagi dialek Hokkian dari Mandarin shi guo tang, artinya sup sepuluh macam buah.
Bentuk aslinya dulu sepuluh macam buah tentu saja berbeda dengan bentuk sekoteng sekarang yang isinya beragam ada kacang tanah, kolang-kaling dan sebagainya, namun namanya melekat erat sampai sekarang.
Jadi sebenarnya sejak dulu kala sudah terjadi melting pot di Nusantara ini. Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 mengukuhkan kesepakatan dan aklamasi berbangsa bahwa keberagaman itu adalah keniscayaan yang merajut Indonesia sampai dengan hari ini.
Tidak ada saat ini di manapun di seluruh pelosok Nusantara ibu-ibu batal belanja beli tauge di pasar karena pengaruh aseng, atau batal makan bakmi di mal, dan tak seorang pun menyangkal bakpia pathuk adalah oleh-oleh khas Jogja.
Semangkok mi aceh tidak punya agama, tidak ada yang peduli etnis penjual mi ayam lezat di Jakarta, tidak ada yang berpikir etnis dan agama pemilik resto bakmi terkenal di Indonesia. Urusan makanan yang ada enak dan enak sekali.
Diplomasi yang paling ampuh di seluruh penjuru dunia adalah diplomasi melalui mulut dan perut, tidak bakalan ada resistensi apapun. Satu nusa, satu rasa, satu Indonesia, kuliner Nusantara!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H