Selama di jalan, banyak aspal terbelah dan tidak bisa dilewati mobil. Selain itu, banyak pohon dan rumah roboh, orang terus berlarian sambil menangis.
“Pokoknya waktu itu sangat mencekam. Saya bersama dengan teman-teman naik ke daerah namanya Porame. Saya bersama warga yang lain, akhirnya beristirahat di lapangan terbuka,” terangnya.
Wahyudi mengaku, saat itu sempat kebingungan untuk menghubungi keluarganya di Bondowoso, karena sinyal telepon tidak ada.
“Akhirnya di tengah jalan, saya bertemu dengan ibu-ibu, dan ternyata sinyal telepon milik ibu tersebut bisa. Di situlah saya kemudian pinjam handphone ibu tersebut, lalu telepon istri saya, mengabarkan bahwa saya selamat,” katanya.
Barulah kemudian, keesokan harinya, Wahyudi bersama sejumlah atlet yang selamat dievakuasi ke Makassar.
“Saya sempat menginap di Makassar, karena ada rekan kami yang mengalami luka-luka, dan harus dirawat dulu di rumah sakit,” tambahnya.
Baca juga: Usai Gempa, Warga Sumba Timur Mengungsi
Akhirnya, Minggu (30/9/2018), dia bersama sejumlah rekannya dibawa ke Malang.
“Saya sempat menginap sehari di Malang, dan Senin (1/9/2018) malam, saya tiba di Bondowoso,” katanya.
Wahyudi mengaku, saat ini masih trauma jika mengingat kejadian saat gempa tersebut. Apalagi, rekan-rekan atlet paralayang juga menjadi korban meninggal dunia.
“Saya turut berduka cita atas meninggalnya rekan-rekan saya, semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan,” ucap Wahyudi.