KOMPAS.com – Malam itu, 30 September 1965, sekelompok tentara mengepung sebuah rumah di Jalan Hasanuddin 53, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Wajah-wajahnya terlihat garang dengan senjata laras panjang di tangan.
Dari dalam rumah, tepatnya sebuah kamar di lantai 2, seorang perwira TNI AD yang merupakan empunya rumah tidak panik.
Dalam balutan pakaian militer lengkap, pria itu, Brigadir Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, menghadapkan badannya ke sebuah cermin di lemari besar. Beberapa kali dia merapikan pakaian agar tak terlihat kusut.
Tentara yang kini sudah masuk dan menguasai lantai 1 rumah itu semakin galak. Tembakan dilepaskan. Sejumlah perabot dan vas yang menjadi hiasan pun jadi sasaran penembakan.
Istri dan anak DI Panjaitan yang berada di lantai 2 semakin terlihat ketakutan. Apalagi, seorang asisten rumah tangga melaporkan bahwa dua keponakan Panjaitan yang di lantai bawah, Albert dan Viktor, terkena tembakan.
Namun, Panjaitan tetap tenang. Dengan langkah perlahan, dia turun ke lantai 1 yang dikuasai pasukan yang disebut dari satuan Cakrabirawa, pasukan khusus pengawal Presiden Soekarno.
Saat DI Panjaitan berada di bawah, tentara itu memaksanya untuk segera naik ke truk yang akan mengantarnya ke Istana. Kata para tentara, jenderal berbintang satu itu dipanggil Presiden Soekarno karena kondisi darurat.
Seorang jenderal diundang ke Istana oleh gerombolan tentara, tentu merupakan hal yang janggal. Akan tetapi, dalam todongan senjata, DI Panjaitan tetap tidak panik. Dia menyempatkan diri untuk berdoa, yang menyebabkan para tentara itu semakin marah.
Seorang tentara kemudian memukulkan popor senjata, tetapi DI Panjaitan menepis sebelum benda keras itu menghantam wajahnya. Tentara yang lain marah, Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat itu ditembak. DI Panjaitan tewas.
Jenazah DI Panjaitan segera dimasukkan ke dalam truk dan dibawa pergi. Meski demikian, darah pria kelahiran Balige, Sumatera Utara itu masih berceceran di teras rumah.
Putri sulung Panjaitan, Catherine, menyaksikan penembakan itu. Dia terlihat shock saat ayahnya ditembak.
Setelah gerombolan tentara itu pergi, didatanginya tempat ayahnya ditembak. Darah yang masih berlumuran di teras itu pun dipegangnya penuh haru. Kemudian, tangan yang penuh darah itu diusapkannya ke wajah. Â
***
Cerita di atas merupakan salah satu adegan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKIÂ (1984) besutan sutradara kawakan Arifin C Noer.
Bagi anak-anak yang besar pada periode 1990-an, tentu tidak asing dengan film yang menggambarkan peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang dalam film itu disebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia.
Sedangkan adegan putri Panjaitan yang membasuh wajahnya dengan darah, merupakan salah satu adegan yang sulit dilupakan bagi penontonnya.
Tidak hanya itu, sejumlah kutipan yang berasal dari film itu juga masih terngiang hingga sekarang. Misalnya, "Darah itu merah, jenderal", yang muncul saat adegan penyiksaan terhadap tujuh jenderal Pahlawan Revolusi di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Kutipan lain? "Jawa adalah kunci!"
Saat mendengar kalimat itu, tentu terbayang adegan rapat-rapat PKI yang begitu serius, dalam ruangan penuh asap rokok.
Secara garis besar, film yang dibuat di masa pemerintahan Presiden Soeharto ini mencoba menggambarkan situasi negara yang begitu kacau pada 1965, saat terjadi "pemberontakan PKI".
Pro dan kontra pun mengiringi keberadaan film ini. Sebagian orang percaya dengan brutalnya kisah yang disajikan. Sedangkan, sebagian yang lain meragukan cerita yang ditampilkan sama seperti sejarah yang terjadi saat itu.
Kualitas Film
Terlepas dari kebenaran konten cerita yang ditawarkan, film ini menyuguhkan karya sinematografi dan seni peran yang paripurna. Ditambah, efek warna dan suara mencekam membuat penontonnya terbawa dengan suasana kelam saat itu.
Salah satu sinematografer yang juga seorang sutradara film The Origin of Fear (2016), Bayu Prihantoro Filemon, membagikan pandangannya.
Menurut Bayu, sejumlah adegan kekerasan dengan latar suara yang mencekam membuat film itu menyerupai film horor.
"Film ini bisa saya sebut 'horor paripurna'," kata Bayu.
"Karena film ini, dengan segala keterbatasannya, berhasil menebar teror sekaligus menjadi trauma generasi," kata sutradara yang memenangkan Best Short Film di Art Film Fest Kosice di Slovakia pada 2017 ini.
Bayu melanjutkan, film yang merupakan proyek pemerintah ini mampu mewujudkan realitas film menjadi realitas nyata di dalam kehidupan sehari-hari.
Sutradara yang karyanya juga masuk dalam nominasi Best Short Film di Venice Film Festival ini menyebutnya sebagai pseudomemory sejarah bangsa.
Menurut Bayu, hal itu berhasil dicapai meskipun film ini masih memiliki banyak kekurangan dari berbagai sisi.
"Dari sisi teknis, termasuk perihal efek suara, kualitas akting, sudut pengambilan gambar, dan musik, film Pak Arifin tersebut tentu saja tetap ada kekurangannya," kata Bayu.
"Saya tumbuh dengan bahasa-bahasa film yang lebih modern dibandingkan dengan apa yang ada di film tersebut," ujar Bayu, yang juga berprofesi sebagai dosen.
Dua sisi di masyarakat
Hingga 1998, film bergenre docudrama ini selalu ditayangkan melalui saluran televisi nasional. Bahkan sebelumnya, pemerintah mewajibkan semua siswa-siswi di sekolah untuk menonton film ini di bioskop.
Tak heran, pesan yang disampaikan melalui rangkaian cerita yang dibangun melekat erat di ingatan para penontonnya. Dalam hal ini, penontonnya ialah generasi yang besar di era akhir '80-an dan periode '90-an.
Kompas.com mencoba bertanya pada sejumlah orang yang pernah menyaksikan film berdurasi lebih dari 4 jam ini.
Beberapa di antaranya mengaku percaya penuh pada cerita kekejaman PKI yang dibawakan film itu. Salah satunya diutarakan Achmad Zacky (35).
"Percaya, PKI itu kejam. Kalau saat ini masih ada yang seperti itu, rasanya dendam sekali," ujar Zacky.
Hal serupa disampaikan oleh Anik (47) yang mengaku sudah berulangkali menonton film itu.
"Tidak tahu aslinya, tahunya kacau. Ya percaya saja, memang itu berdasarkan tragedi G30S/PKI," kata Anik.
Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang memahami film tersebut sebagai bentuk propaganda pemerintah. Salah satunya Fachrudin (29).
Akan tetapi, awalnya Fachrudin percaya dengan penggambaran dalam film itu.
"Reaksi pertama nonton saat masih SD kelas 1 enggak takut, terus percaya kalau PKI itu jahat," Â kata Fachrudin.
Seiring tumbuh dewasa, Fachrudin kemudian mendapatkan cerita dari salah seorang yang berusia tua mengenai sejarah periode 1965-1966.
"Kemudian waktu baca buku Tan Malaka dan lihat film Senyap (2014), kayaknya apa yang dibilang Si Mbah benar," ucap dia, sambil tertawa.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Heri (45) saat ditanyai pandangannya tentang film yang dibintangi Amoroso Katamsi dan Syubah Asa ini. Menurut Heri, film itu bernilai propaganda sejarah.
"Itu propaganda saja. Bapak-Ibu dulu sudah sering menceritakan tentang siapa Soekarno, siapa Soeharto. Jadi saya bisa menyebut siapa yang sebetulnya PKI, bukan yang digambarkan dalam film," ujar Heri.Â
Kembali ke pembahasan film, Bayu Prihantoro Filemon menilai, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI memang dapat memiliki dampak dalam kehidupan bermasyarakat di masa depan.
Dia mengaku ada kekhawatiran bahwa ketakutan yang selalu berulang setiap tanggal 30 September terus tertanam.Â
"Ini berdampak ke bagaimana kehidupan berdemokrasi negara kita dipahami dan diejawantahkan dalam keseharian kita. Apa sih yang lebih mengerikan dibanding hal-hal tersebut?" kata dia.
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H