JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi menyatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR dan DPRD bukan merupakan putusan yang mencerminkan pro akan perilaku koruptif.
“Tidak sama sekali pro terhadap tindakan koruptif, bahkan Mahkamah Agung mengharapkan tidak ada lagi tindakan koruptif di Indonesia, karena muaranya ke Mahkamah Agung perkara-perkara korupsi nanti juga ke MA, baik perkara kasasi atau PK (peninjauan kembali)nya,” ujar Suhadi saat dihubungi Kompas.com, Senin (17/9/2017).
Suhadi mengatakan, majelis hakim melihat bahwa larangan menjadi caleg untuk mantan narapidana korupsi bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Seperti diketahui, Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 memuat larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg. Dianggap bertentangan, karena Undang-Undang Pemilu tidak mengatur larangan tersebut. Sedangkan PKPU, merupakan turunan dari Undang-Undang Pemilu.
“Sebetulnya yang perlu dikritisi sumbernya itu disitu (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017), MA ibarat dia memegang kunci dengan gemboknya pas atau tidak meluruskan bahwa bertentangan dengan UU nomor 7 tahun 2017,”tutur Suhadi
“Disitu dikatakan asal sudah lima tahun dia menjalani pidana kemudian Judicial Revie (JR) di MK di MK tidak perlu lima tahun tapi harus diumumkan ke publik bahwa dia mantan napi tipikor,” sambung Suhadi.
Suhadi berharap putusan MA nantinya bisa ditaati oleh pihak-pihak yang berkepentingan akan putusan tersebut.
“Harapannya putusan itu ditaati pihak-pihak yang tersangkut, karena itu keputusan pengadilan hukum,” kata Suhadi.
Lebih lanjut, tutur Suhadi, salinan putusan MA setelah dikoreksi akan di upload di direktori keputusan Mahkamah Agung supaya bisa dibaca untuk khalayak umum.
“Setelah dikoreksi baru di taruh di informasi perkara di direktori Putusan MA,” kata Suhadi.
Baca juga: Pasca-putusan MA, KPU Khawatir Revisi PKPU Tak Tuntas Sebelum Penetapan DCT