JAKARTA, KOMPAS.com – Momen dua bakal calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, berpelukan bersama pesilat peraih medali emas, Hanifan Yudani Kusumah, Rabu (29/8/2018), menjadi perhatian publik.
Aksi Hanifan merangkul dua elite politik ini dianggap mampu menyejukkan suhu politik yang mulai memanas jelang Pemilu 2019.
Sesaat setelah memenangkan pertandingan, atlet pencak silat asal Indonesia, Hanifan Yudani Kusumah, naik ke bangku penonton VVIP kemudian menyalami dan memeluk Presiden Joko Widodo, juga Kepala Ikatan Pencak Silat Indonesia, Prabowo Subianto.
Ketiganya terlihat berpelukan hangat dengan berbalut bendera merah putih yang sebelumnya digunakan Hanifan untuk selebrasi kemenangan.
Tepuk tangan dan sorak sorai terdengar di Padepokan Pencak Silat, TMII, Jakarta, sore itu.
Foto-foto bahkan karikatur langsung menyebar luas di jagad maya hanya dalam hitungan jam.
Momen ini menjadi penyejuk karena seharusnya tahun politik tak memecah belah dan tetap menyatukan semua elemen apapun pilihannya.
Harapannya, kesejukan di level elite juga akan menjalar hingga ke akar rumput.
Kehangatan yang ditunjukkan oleh Jokowi dan Prabowo, bukan hanya terjadi di Asian Games 2018.
Pada 2017, Jokowi sempat bertamu ke kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor. Keduanya membicarakan isu kebangsaan dan diakhiri dengan berkuda bersama.
Saat pelantikan Jokowi sebagai Presiden pada 2014, Prabowo beserta jajaran Koalisi Merah Putih (KMP) juga hadir.
Masih banyak peristiwa lainnya yang menunjukkan kedekatan Joko Widodo dengan Prabowo.
Akan tetapi, yang terjadi di kelompok pendukung keduanya, justru sebaliknya.
Kedua kubu yang berseberangan ini kerap saling serang, terutama di media sosial, dan punya sebutan untuk masing-masing kelompok.
Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (PUSKAPOL UI), Aditya Perdana, menilai, dinamika seperti ini lumrah terjadi di politik.
Kalangan elite
Citra baik yang ditunjukkan para politisi di hadapan publik bisa berarti dua hal. Pertama, kedua tokoh sebenarnya memang memiliki hubungan baik.
Kedua, ingin menciptakan citra positif di masyarakat.
“Gimana caranya membangun persepsi positif di publik dengan perilaku, pernyataan, atau pun gesture tubuh. Biasanya akan menjadi perhatian para politisi. Tapi saya yakin sosok Pak Jokowi sama Pak Prabowo dalam konteks itu (Asian Games) sih sebenarnya biasa aja,” ujar Adit.
Namun, di balik para elite ini, ada tim konsultan yang memberikan masukan dan saran. Demikian pula dalam setiap kegiatan politiknya.
Hal itu membuka kemungkinan terjadinya disinterpretasi atau pembiasan makna pesan yang disampaikan oleh elite kepada masyarakat.
“Di belakang layar itu ada orang-orang yang diminta oleh si para kandidat atau para calon-calon politisi, yang sedang bermain juga. Bermain untuk membuat sebuah skenario tertentu terhadap pencitraan si A, si B, si C, dan sebagainya. Itu bagian dari usaha pemenangan," kata Adit.
Realita di akar rumput
Adit menilai, skenario yang disusun oleh "pemain" di level mediator itu menyebabkan kekacauan di kelas masyarakat akar bawah.
“Ketika sudah sampai di level grass root atau media sosial banyak orang, banyak kepentingan, yang belum tentu mereka paham apa yang ditampilkan dan disampaikan oleh para sosok atau kandidat itu. Apakah mereka tahu yang sesungguhnya terjadi, belum tentu juga,” kata Adit.
Sebagian kelompok yang kerap ribut di media sosial adalah mereka yang mudah terpancing dan ikut menyebarluaskan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau hoaks.
Hal inilah yang menjadi pemicu masyarakat menjadi terpecah-belah.
“Masyarakat juga kan enggak tahu dan ikut terpancing, ikut menjadi panas, dan sebagainya. Setelah itu ikut mengamini kelompok si ini, kelompok si itu,” ujar Adit.
Oleh karena itu, lanjut dia, masyarakat perlu diedukasi agar selektif dalam menyaring informasi karena hoaks banyak tersebar di media sosial saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H