Temuan ini mendapatkan beberapa tanggapan dari ahli. Di antaranya oleh Matthew Lachniet, profesor geosains di University of Nevada di Las Vegas.
Baca juga: Goa Bawah Air Terpanjang di Dunia Ungkap Jejak Suku Maya
Lachniet mengatakan, kuantifikasi kekeringan dalam hal ini menjadi penting karena menggambarkan kekuatan variabilitas iklim alami saja.
"Manusia mempengaruhi iklim. Kita membuat iklim lebih hangat dan diproyeksikan ini membuat Amerika Tengah lebih kering," ujarnya dikutip dari Washington Post, Jumat (03/08/2018).
"Kita bisa berakhir dengan kekeringan ganda. Jika bertepatan dengan kekeringan dari sebab alami dan kekeringan oleh ulah manusia, maka itu memperkuat dampaknya," sambung Lachniet.
Penelitian sedimen dasar danau tersebut dilakukan karena hal itu memungkinkan ilmuwan menentukan kondisi iklim di masa lalu.
Dengan kata lain, kotoran kuno bisa seperti kapsul waktu geologi.
Itu karena setiap lapisan sedimen yang terkubur jauh di bwah tanah mengandung bukti curah hujan, suhu, bahkan polusi udara.
Melalui serangkaian proses kimia dan interaksi, kondisi alam ini "dicatat" di permukaan tanah pada saat itu hingga akhirnya terkubur.
Menurut Nick Evans, penulis utama penelitian ini, mengatakan hasil analisis sedimen menunjukkan selama periode kering volume danau menyusut.
Jika kekeringan itu terjadi sangat lama, kristal gipsum akan terbentuk dan memasukkan air danau ke dalam strukturnya.