MATARAM, KOMPAS.com - Saat gempa terjadi pada Minggu (29/7/2018) pagi, pendaki Gunung Rinjani mengaku merasakan keras guncangannya dan durasinya cukup lama.
Hampir 1.000 orang yang berada di kawasan itu panik. Bagaimana tidak, saat bumi berguncang begitu keras, tanah tanah retak, batu dan longsoran tebing berjatuhan dari puncak Rinjani.
“Kami saat itu baru saja berjalan turun dari puncak dan berada di Pelawangan. Rencananya akan ke Danau Segara Anak. Tiba-tiba semua berguncang, gemuruh, dan kami tak saling lihat karena debu menutup pandangan kami, semua berteriak," kata Budi Kiswantoro alias Wawan, pendaki asal Makassar kepada Kompas.com, Selasa (31/7/2018).
Saat bertemu dengan Wawan, dan sejumlah rekannya di Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Sembalun, Lombok Timur, mereka tengah menerima telepon dari keluarga Mochmad Ainul Taksim (26), pendaki yang meninggal akibat tertimpa longsoran dan bebatuan di kawasan Rinjani.
Saat itu, keluarga Ainul terus menanyakan proses evakuasi yang tengah dilakukan di kawasan pendakian Rinjani.
“Ini benar-benar sulit bagi kami, karena kami sama-sama berangkat dari Makassar dengan Bang Inul, muncak bareng, dan setelah gempa semua berubah. Semua tidak menentu. Kita semua berlarian tak terarah, panik, karena gemuruh, guncangan dan lonsoran tanah juga batu batu ke arah kami, semua tak terlihat, debu mengepul di mana-mana,” tutur Wawan.
Wawan tampak lusuh karena memang baru turun dari kawasan pendakian Gunung Rinjani setelah dievakuasi petugas. Baju yang dipakainya pun tak diganti. Namun dia bersedia menceritakan detik-detik terakhir bersama kawan terbaiknya, Ainul.
“Waktu itu dia kan lari, terus jatuh. Mungkin dia tertimpa batu. Waktu itu saya cari dia, saya menemukan dia dan saya angkat dia bersama kawan lain taruh ke tempat yang aman. Terus saya pangku. Karena darahnya mengucur dari telinga dan kepala, saya angkat kepalanya agar tidak banyak yang mengucur darahnya," suara Wawan bergetar menahan tangis.
“Dia meninggal di pangkuan saya,” katanya pelan.
Saat itu, gempa terus mengguncang. Getaran dan longsoran datang bertubi-tubi.
Ainul tergeletak
Asril Hadi dari Kelompok Tangan Kotor yang merupakan kelompok pendaki di Lombok Timur, ikut bersama rombongan pendaki Makassar ketika peristiwa itu terjadi.
Baca juga: Tangis Pendaki Rinjani Iringi Pemulangan Jenazah Ainul ke Makassar
Asril mengatakan, ketika itu semua orang berlarian untuk menyelamatkan diri. Dia memilih berlari ke arah kiri, karena jika ke kanan dari Plawangan ada jurang.
“Dalam kondisi lari pun kita semua sudah tertutup debu. Jadi kita semua sudah pasrah. Beberapa menit kemudian debu yang menutupi kita tiba-tiba hilang. Jadi kita bisa saling lihat. Habis itu saya cari kawan-kawan. Hanya almarhum saja yang tergeletak. Ternyata dia sudah (mengalami) pendarahan di kepala. Kita kasih bantuan P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan) kita kasih minum. Tapi almarhum sudah hilang kesadaran,” tutur Asril.
Debu dari longsoran berwarna cokelat pekat menutup Rinjani, menutup jarak pandang, dan mata mereka terasa perih saat bernafas terasa sesak.
“Rumput pun tak terlihat oleh debu, kawan-kawan tak terlihat, hanya mendengar suara kawan kawan yang memanggil. Saya mendengar kawan bernama Fauzan pendaki dari Makassar yang saya dengar memanggil. Saya cari, saya tenangin dia. Cuma dia yang bersama saya ketika debu mulai menghilang,” kata Asril.
Asril mengaku sempat jatuh saat terjadi gempa di jembatan menuju danau dari Pelawangan. Dia menggambarkan, saat kejadian longsoran yang jatuh adalah tanah dan bebatuan yang besarnya dua kali lipat ukuran kepala orang dewasa.
Cari pertolongan
Asril berinisiatif mencari pertolongan. Dia mencari sinyal telepon seluler. Ketika sampai di Pelawangan, ia meminta bantuan agar menyelamatkan Ainul dari jalur menuju danau.
Asril menemukan porter dan guide, namun mereka tidak berani menolong dan menyarankan dia meminta bantuan ke petugas TNGR di kantor.
Dia terus berusaha mencari bantuan. Di pos 2, Asril menemukan petugas dan membuat laporan lengkap atas kejadian yang menimpa pendaki Makassa yang juga kawannya itu.
“Saya kasih biodata Ainul. Lokasi dan kronologi kejadian saya berikan kepada petugas di pos 2. Saya dievakuasi turun sampai pos 1, saya naik ojek sampai ke Bawak Enao,” kata Asril.
Asril menjelaskan, ia bersama 13 orang temannya juga bertemu dengan warga dari berbagai negara, terbanyak dari Thailand. Mereka semua, kata Asril, melarikan diri dan meninggalkan barang serta peralatan.
Ribuan pendaki berhasil dievakuasi
Proses evakuasi seluruh pendaki yang tengah dalam keadaan panik tidaklah mudah. Sebanyak 244 anggota tim gabungan SAR Mataram, BPBD, TNGR, Mapala Universitas Mataram, tenaga medis, TNI dan Polri membagi tugas dalam proses evakuasi.
Berdasarkan data, jumlah pendaki yang berhasil dievakuasi sebanyak 1.226 orang. Terdiri dari 696 orang warga negara asing (WNA) dan 530 orang warga negara Indonesia (WNI).
Proses evakuasi berlangsung hingga Selasa. Terakhir petugas mengevakuasi 6 orang, 3 pendaki, 2 orang porter dan jenazah pendaki asal Makassar.
Baca juga: 1.226 Pendaki Telah Dievakuasi dari Gunung Rinjani
Pendaki asal Australia, Stanley Yu yang sempat ditemui Kompas.com saat ia hendak meninggalkan Lombok melalui Bandara Internasional Lombok, mengatakan, saat kejadian dia tengah berada di puncak Rinjani.
“Sekitar 10 menit setelah saya memegang papan ketinggian Rinjani dan mengambil foto, tiba-tiba goncangan besar terjadi, gempa, semua panik. Saya tiarap. Setelah keadaan tenang mencoba turun," katanya.
Dia juga mengatakan, semua pendaki pasca-gempa saling membantu agar tak jatuh korban setelah melewati hal yang sangat mengerikan.
Stanley Yu tak sendiri, bersama George, kawannya yang juga dari Australia, meninggalkan Lombok. Meski diguncang gempa, dia tetap memiliki kesan yang baik tentang Rinjani. Ia menyebut Rinjani indah. Hanya saja, menurutnya, masalah sampah harus diperhatikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H