JAKARTA, KOMPAS.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menemukan 227 perusahaan pinjam meminjam uang berbasis teknologi (peer-to-peer lending fintech) ilegal di Indonesia. Daftar tersebut didapatkan dari hasil screening satuan tugas waspada investasi terhadap perusahaan fintech yang tak terdaftar.
Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya berasal dari developer China. Platform tersebut dapat dengan mudah ditemukan di mesin pencarian Google maupun berupa aplikasi di Play Store dan App Store.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investigasi Tongam L Tobing mengatakan, 227 perusahaan tersebut melanggar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 di mana diatur kewajiban bagi penyelenggara peer-to-peer lending untuk mendaftar ke OJK.
Lantas, mengapa Indonesia jadi sasaran China untuk membuka perusahaan fintech?
Baca juga: Baru 63 Fintech Lending yang Terdaftar di OJK
Tongam mengatakan, hal ini disebabkan adanya pengetatan regulasi di China terkait pinjam meminjam uang.
"Di China ada pengetatan peer-to-peer lending. Sebelumnya sangat bebas," ujar Tongam di kantor OJK, Jakarta, Jumat (28/7/2018).
"Bisa jadi berdampak ke kita. Perusahan China yang tidak bisa di sana, lari ke sini," lanjut dia.
Tongam mengatakan, developer China itu menamakan perusahaannya dalam bahasa Indonesia.
Satu developer bisa mengoperasikan dua hingga tiga platform. Misalnya, developer Li Chen menggerakkan platform Cinta Rupiah dan Duit Pinjaman, developer Xinhe dengan platform Dana Saku dan Dunia Pinjaman, serta Dana Uang dari developer Zhu Xia.
Para investor diduga berasal dari China juga. Mereka memutar uang mereka di platform tersebut untuk berinvestasi.
Baca juga: OJK Minta Bantuan Google Blokir Aplikasi Fintech Ilegal
"Kami menduga karena di sana dikejar-kejar, sementara uang mereka sangat banyak. Maka mereka masuk ke sini," kata Tongam.
Namun, belum bisa dipastikan perusahaan itu bergerak di bidang apa karena OJK tidak bisa mendeteksi perusahaan-perusahaan yang namanya tidak terdaftar. OJK juga tak bisa memastikan jumlah nasabahnya karena tak memiliki data resmi.
"Kami perkirakan satu platform sampai ada 100.000 member dilihat dari yang mendownload aplikasinya. Kalau dikalikan dengan yang ilegal, bisa mencapai jutaan jumlahnya. Ini bisa merugikan konsumen kalau tidak dihentikan segera," kata Tongam.
Ada sejumlah dampak negatif dari fintech ilegal. Pertama, dapat digunakan unruk tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Kedua, data dan informasi pengguna dapat disalahgunakan. Selain itu, tidak ada perlindungan terhadap pengguna karena perusahaannya abal-abal. Negara juga merugi karena tidak ada potensi penerimaan pajak.
Baca juga: Mayoritas Perusahaan Fintech Peer-to-Peer Lending Ilegal Berasal Dari China
"Hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat untuk peer-to-peer lending," kata Tongam.
Tongam mengimbau masyarakat untuk memastikan betul latar belakang perusahaan fintech sebelum memberi pinjaman maupun meminjam uang. Pastikan perusahaan itu kredibel dan yang terpenting sudah terdaftar di OJK.
Saat ini tercatat ada 63 peer-to-peer lending fintech yang terdaftar di OJK. Nama-namanya bisa dilihat di laman resmi OJK www.ojk.go.id.
"Kita dorong entitas harus menuruti aturan di Indonesia. Semua fintech peer-to-peer lending harus terdaftar," kata Tongam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H