JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 12 orang mendaftarkan permohonan uji materil Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/6/2018).
Para pemohon berharap MK menghapus ketentuan pasal itu, yakni 'presidential threshold' sebesar 25 persen.
Para pemohon itu, yakni mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, Akademisi Faisal Basri, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay.
Baca juga: PKS Dukung Pasal Ambang Batas Pencalonan Presiden Diuji Lagi ke MK
Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Akademisi Rocky Gerung, Akademisi Robertus Robet, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Sutradara Film Angga Dwimas Sasongko.
Selain itu, ada pula Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Profesional Hasan Yahya.
Ahli yang mendukung permohonan tersebut yakni Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal ArifIn Moctar, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti.
Baca juga: Alasan Pasal Ambang Batas Pencalonan Presiden Kembali Digugat ke MK
"Kami mengajukan permohonan ini sebagai orang-orang non-partisan. Tidak ada tujuan untuk kepentingan pasangan calon tertentu atau partai politik dalam pemilihan presiden atau Pemilu yang dilakukan dalam 10 bulan ke depan," ujar Hadar Nafis Gumay, perwakilan para pemohon, dalam konferensi pers di depan Gedung MK, Jakarta, Kamis.
Hadar mengakui, permohonan uji materi atas Pasal 222 UU Nomor 7/2017 ke MK bukanlah sesuatu yang baru. Sebelumnya sudah ada yang pernah mengajukan permohonan serupa dan ditolak.
Baca juga: MK Didorong Putuskan Uji Materi Presidential Threshold Sebelum Pilpres
Meski demikian, para pemohon optimistis permohonan uji materi kali ini dikabulkan oleh MK.
"Sebab, argumentasi permohonan uji materi tersebut berbeda dibandingkan permohonan sebelumnya," ujar Hadar.
Darurat Konstitusi
Adapun, argumentasi yang mendasari permohonan kali ini adalah:
1. Pasal 222 UU 7/2017 mengatur “syarat” capres. Itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara”.
2. Pengaturan delegasi “syarat” capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur “syarat” capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
Baca juga: Presidential Threshold Kembali Digugat ke MK, Ini Argumentasinya
3. Pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung bukan “Pemilu anggota DPR sebelumnya”, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
4. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah "close legal policy" bukan "open legal policy", sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
5. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Baca juga: 12 Penggugat Presidential Threshold Klaim Bukan Partisan Politik
6. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
7. Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945
8. Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Baca juga: Presiden Persilakan Masyarakat Gugat Presidential Threshold ke MK
9. Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah "constitutional engineering", tetapi justru adalah "constitutional breaching", karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Melihat sejumlah argumentasi yang ada, Hadar menegaskan, tidak berlebihan apabila saat ini sedang terjadi darurat konstitusi.
"Masak kita mau terus menerus melaksanakan pemilihan umum kita, tapi dengan aturan yang bertentangan dengan konstitusi? Jadi ini situasi yang menurut hemat kami, sudah emergency konstitusional kita, sudah darurat," ujar Hadar.
MK Harus Segera Memutuskan
Salah seorang pemohon, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini berharap keputusan MK atas perkara ini diketuk sebelum proses Pilpres 2019 dimulai, yakni sebelum tanggal 10 Agustus 2018, batas waktu terakhir pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ke KPU.
"Demi mewujudkan pemilu 2019 yang juga bagian dari proses demokrasi konstitusional, kami berharap MK bisa memutus dengan segera perkara ini sehingga bisa memberikan kepastian hukum bagi partai politik peserta pemilu 2019 dan pemilih Indonesia dalam mendapatkan capres sebagai pilihan wujud pelaksanaan azas kedaulatan rakyat pada Pemilu 2019," ujar Titi.
Baca juga: Gerindra Tak Persoalkan Ada atau Tidak Presidential Threshold
"Harapan kami, MK bisa memprioritaskan pemeriksaan perkara ini sehingga bisa diperoleh putusan sesegera mungkin sebelum pelaksanaan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden 8-10 Agustus," lanjut dia.
Titi yakin putusan MK atas perkara ini tidak membuat kegaduhan bagi calon presiden dan calon wakil presiden beserta partai politik pendukungnya.
"Justru membuat penyelenggaraan Pemilu kita semakin baik dan memberikan kepastian bagi parpol peserta pemilu sehingga tidak perlu tercipta koalisi berbasis upaya-upaya untuk transaksi misalnya. Selain itu pemilih lebih punya banyak pilihan dan lebih bisa mengekspresikan pilihannya di dalam pemungutan suara," ujar dia.
Baca juga: Jimly: Idealnya Presidential Threshold 0 Persen
Para pemohon juga berharap pembatalan Pasal 222 UU Pemilu ini dapat diberlakukan segera. Paling lambat dapat berlaku pada Pilpres 2019.
"Bukan justru diberlakukan mundur untuk pilpres yang selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak di putusan MK 2014. Dengan demikian, kerugian konstitusional para pemohon betul-betul terlindungi, dan pelanggaran konstitusi tidak dibiarkan berlangsung dan menciderai pelaksanaan Pilpres 2019.," ujar Titi.
Baca juga: Jimly: Uji Materi Presidential Threshold Harus Diputuskan Sebelum Tahap Pendaftaran
Presiden Joko Widodo berkomentar singkat mengenai hal ini. Ia menegaskan, sangat menghormati langkah keduabelas orang pemohon tersebut.
"Ya kita harus menghormati hukum, dari masyarakat untuk mengajukan uji materi kepada MK," kata Jokowi kepada wartawan di Tangerang, Banten, Kamis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H