JAKARTA, kompas.com - Peneliti LIPI sekaligus tim ahli DPR Poltak Partogi Nainggolan menilai definisi terorisme dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) tak perlu ditambahkan dengan frasa motif tujuan politik, ideologi dan mengancam keamanan negara.
Menurut Partogi, penambahan frasa tersebut nantinya dapat menyulitkan proses penegakan hukum.
"Justru menyulitkan. Bagaimana anda bisa mengadili ideologi orang? Tetapi kalau sudah berbuat kan bisa (diadili)," ujar Partogi seusai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi terkait RUU Antiterorisme, di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (15/5/2018).
"Munculnya motif politik dan ideologi itu justru bikin susah," ucapnya.
Partogi juga tidak sependapat jika konsep definisi terorisme yang diusulkan pemerintah akan membuat aparat penegak hukum mudah mencap seseorang sebagai teroris.
Baca juga: Sejumlah Pasal di RUU Anti-Terorisme Jadi Sorotan Komnas HAM
Ia berpendapat, seseorang dapat dikategorikan sebagai teroris jika sudah terbukti bergabung dengan kelompok teroris tertentu, meski belum melakukan aksi terorisme. Keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok teroris, kata Partogi, dapat menjadi bukti permulaan yang cukup untuk diproses hukum.
"Misal dia anggota JAD. Kalau sudah ditetapkan secara internasional, PBB pun sudah menetapkan sebagai kelompok teroris mau ngapain dia di situ kalau memang tidak untuk kegiatan itu (terorisme). Itu sudah sebagai bentuk permulaan yang cukup," tuturnya.
Perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah terkait definisi terorisme menjadi salah penyebab terhambatnya pengesahan RUU Antiterorisme. Anggota Pansus RUU Antiterorisme Arsul Sani mengakui adanya perbedaan pendapat itu selama proses pembahasan.
Menurut Arsul, pemerintah menginginkan definisi terorisme sesuai pasal 6 dan 7 draf RUU Antiterorisme.
Pasal tersebut menyatakan terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror dan rasa takut menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau mengakibatkan kerusakan kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, publik atau fasilitas internasional.
Baca juga: Gabungan 14 Ormas Islam Desak DPR Segera Rampungkan RUU Anti-Terorisme
Sementara, sejumlah fraksi di DPR meminta agar dalam definisi tersebut ditambahkan frasa motif tujuan politik, ideologi dan mengancam keamanan negara. Hal itu bertujuan agar aparat penegak hukum tak sewenang-wenang dalam menetapkan seseorang sebagai teroris.
Setelah pertemuan antara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dan sejumlah sekjen partai pendukung pemerintah, akhirnya disepakati adanya alternatif terkait ketentuan definisi.
Partai pendukung pemerintah, kata Arsul, tidak keberatan jika nantinya definisi tetap mencantumkan frasa motif ideologi dan politik dalam definisi. Namun ketentuan tersebut tidak diletakkan dalam batah tubuh, melainkan dalam bagian penjelasan umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H