JIKA yang diharapkan adalah checks and balances, itu tidak bisa dilakukan sesederhana sekadar melalui sebuah undang-undang. Logika UU MD3 justru paradoks: penyeimbangan tidak dilakukan dengan pemisahan, melainkan dengan pemusatan kekuasaan.
Dari daftar perundangan yang prosesnya menuai polemik, perubahan UU MD3 termasuk yang paling problematik pasca Reformasi. Ini adalah sebuah gambaran personifikasi kekuasaan yang dibungkus isu pemisahan kekuasaan (separation of power).
Pengalaman yang sudah-sudah, UU Pilkada di era Presiden SBY disahkan namun akhirnya digantikan Perppu Pilkada. RUU Keamanan Nasional, setelah membuat geger, akhirnya dibatalkan di akhir 2012.
Sementara, sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK), ada beberapa yang paling sering ditinjau: UU Pemberantasan Korupsi, UU Ketenagakerjaan, UU Advokat, UU Kejaksaan, UU Kesehatan, dan KUHP.
Pertanyaannya, apakah alasan penguatan martabat legislatif dalam UU MD3 bisa dipertimbangkan sebagai faktor untuk penyetaraan kekuasaan, atau cuma strategi politik pragmatis para elite?
Baca juga : Syukur Dua Pemuda Penggugat UU MD3 Usai Pemerintah-DPR Pecah Kongsi
Apalagi isu trauma demokrasi selama Orde Baru diseret-seret dalam perdebatan.
Ekspos rivalitas
Penting membandingkan polemik di atas. UU Pilkada yang “dimentahkan” Perppu saat itu bisa dimaknai sebagai bagian proses mencari format mekanisme demokrasi; apakah pemilihan langsung atau via DPRD. Sedangkan, karena kebutuhan regulasi, judicial review terhadap daftar UU tersebut lebih pada praktik penyempurnaan.
Relasi fungsi eksekutif-legislatif-yudikatif dalam hal seperti itulah sebenarnya checks and balances. Yaitu pada proses saling menguatkan atau meninjau fungsi masing-masing demi kebutuhan publik.