Parlemen AS dan Inggris, yang sering disebut punya sistem imunitas, tetap tidak dilindungi saat melakukan pidana di luar fungsinya. Konteksnya pun relatif berbeda dengan wakil presiden AS sebagai presiden Senat.
Sedangkan Inggris, konteksnya model Westminster dalam monarkhi, dan Perdana Menteri memimpin House of Common. Membandingkan dengan sistem pemerintahan dan tradisi politik negara-negara itu, logika UU MD3 terlihat seperti mencuplik previlege parlemen hanya sebagai potongan.
Dilihat dari sisi itu, kemunculan UU MD3 adalah bentuk pemilikan dan penggunaan kekuasaan sesuai selera (personifikasi), sebagaimana masa Orde baru.
Bedanya, Orde Baru mempersonifikasi kekuasaan di satu tangan, UU MD3 membaginya di DPR. Dengan kata lain, sebenarnya logika UU MD3 bukan berada dalam konteks penyempurnaan tata kelola negara dan pembagian kekuasaan.
Justru lebih terlihat kepentingan parpol mengamankan mesin politiknya politisinya di DPR. Buktinya, 80 persen fraksi menyetujui saat rapat paripurna.
Dalam jangka pendek, UU MD3 bisa dijadikan instrumen kontrol politik agar tidak “terganggu” kasus hukum.
Baca juga : Sidang Gugatan UU MD3, Hakim Nilai Pemerintah Gamang
Menuju Pemilu 2019, parpol harus fokus mengumpulkan konstituen, sumber daya, dan menjaga citranya. Dalam jangka panjang, mekanisme yang muncul akan membangkitkan model politik bergaya semi-oposisional ala Koalisi Indonesia Hebat (KIH)-Koalisi Merah Putih (KMP).
Model politik semacam itu membuka celah siapa pun pihak yang kalah tetap bisa mengambil fungsi strategis di legislatif untuk mengunci berjalannya pemerintahan (eksekutif).
Apakah tatanan politik semacam itu pantas di negara demokrasi? Di luar konteks etika, strategi politik ini sah-sah saja.