Saat ini sel punca yang diambil berasal dari embrio manusia yang berusia tujuh hari setelah pembuahan. Sel punca pada usia tersebut menjadi yang paling diincar para ilmuwan karena sifatnya yang mudah diolah dan fleksibel.
Sayangnya, penelitian sel punca embrio ini banyak dilarang di negara barat. Itu karena pengambilan sel punca embrio bisa mengakibatkan kematian embrio itu sendiri.
Dengan kata lain, pengambilan sel punca bayi yang masih dalam kandungan bisa membunuh kehidupan.
Ini pula yang menyebabkan ilmuwan banyak bergantung pada sel punca manusia dewasa yang rapuh dan sulit diolah dengan teknologi yang ada sekarang. Apalagi, sel punca manusia dewasa harus digunakan pada pemberi donor sel sendiri untuk menghindari komplikasi.
Baca juga: Pada Sel Punca Otak, Ilmuwan Temukan Kunci Umur Panjang
Dari hal inilah, Dr. Robert Hariri, pendiri Celularity, melirik plasenta sebagai sumber sel punca. Menurutnya, penelitian sel punca plasenta bisa membuat ongkos terapi menjadi lebih murah.
Sebagai perbandingan, saat ini terapi sel punca untuk penyakit kanker dibanderol antara 4,1 hingga 6,8 miliar rupiah. Ongkos pengobatan tersebut menjadi mahal karena dokter harus menggunakan sel punca yang khusus dikembangkan untuk masing-masing pasien.
"Tidak terelakkan bahwa (pengobatan) kanker membutuhkan sel kekebalan tubuh buatan. Rencana kami adalah dengan membuat plasenta sebagai sumber sel kekebalan tubuh, kami bisa mendemokratisasi teknologi ini dengan cara yang sebelumnya mustahil dilakukan," kata Hariri seperti dilansir CNBC.
Manusia Abadi
Pada akhir Februari silam Diamandis menulis di sebuah buletin email, "saya bertanya ke manusia-manusia paling cerdas yang saya kenal tentang prediksi mereka soal teknologi untuk 20 tahun ke depan,".
Salah satu prediksi yang dia tulis adalah bahwa manusia "akan mampu mencapai kelangsungan hidup melebihi kecepatan usia untuk kaum terkaya di dunia."