PORT MORESBY, KOMPAS.com - Pemerintah Papua Niugini mengumumkan keadaan darurat untuk sejumlah Wilayah Dataran Tinggi yang hancur akibat gempa bermagnitudo 7,5.
Papua Niugini telah mengalokasikan 180 juta dollar Amerika Serikat atau Rp 2,4 triliun sebagai langkah pemulihan.
Namun, pengumuman keadaan darurat ini memungkinkan masuknya jutaan dolar bantuan internasional ke negara yang mengalami kesulitan keuangan tersebut.
"Ini bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya di Wilayah Dataran Tinggi. Pemerintah sedang melakukan langkah-langkah untuk mengatasinya," kata Perdana Menteri Peter O'Neill.
Pemerintah Papua Niugini menyatakan, pihaknya telah menyalurkan bantuan, namun penduduk di wilayah gempa mengaku belum mendapatkan bantuan.
Baca juga : Gempa Bermagnitudo 7,5 Guncang Papua Niugini, 30 Orang Diyakini Tewas
Euralia Tagobe, seorang warga Kota Tari yang letaknya paling dekat dengan pusat gempa mengatakan, banyak warga yang frustrasi akibat guncangan gempa.
"Warga sangat kecewa karena para wakil rakyat kami tidak datang ke lokasi secepat mungkin," katanya.
Para petugas kesehatan mengatakan, 10 orang meninggal di Kota Tari, ibu kota Provinsi Hela. Pejabat setempat William Bando mengatakan, ada banyak korban meninggal di daerah terpencil.
"Banyak warga yang terjebak di pegunungan dan terkubur tanah longsor," katanya.
"Gempa ini menelan korban jiwa sekitar 50 orang, menurut laporan yang saya terima, dan menghancurkan banyak rumah," tambahnya.
Dataran Tinggi Selatan
Pihak berwenang di Kota Mendi, ibu kota Provinsi Dataran Tinggi Selatan menyatakan, setidaknya 11 warga setempat meninggal dunia.
Proyek pembangunan sumber daya terbesar juga berada dalam zona gempa.
Exxon-Mobil terpaksa menghentikan sementara operasionalnya dan mengevakuasi staf yang tidak berkepentingan. Mereka juga menerbangkan tim peninjau bencana ke wilayah tersebut untuk melihat dampaknya terhadap warga setempat.
Baca juga : Pertama dalam Sejarah, Gunung Api Tak Aktif di Papua Niugini Meletus
Perusahaan Oil Search yang terdaftar di Australia juga harus menghentikan operasionalnya dan menarik stafnya dari lokasi.
"Kami harus mengevakuasi 20 lebih lokasi, yang melibatkan 600 orang lebih dalam 48 jam terakhir," kata Peter Botten, direktur Oil Search.
Industri pengeboran sumber daya alam kini menghadapi kecaman karena banyak warga setempat yang menyalahkan terjadinya gempa akibat adanya ekstraksi minyak dan gas. Sebagian di antaranya mengancam akan melakukan demonstrasi.
Baca juga : China Bangun Infrastruktur di Papua Niugini, Australia Mulai Khawatir
Direktur Divisi Manajemen Geohazards PNG, Chris McKee, berusaha menjelaskan bahwa gempa tersebut tidak terkait dengan aktivitas pengeboran minyak dan gas.
"Gempa bumi terjadi jauh di bawah tanah di mana industri minyak dan gas beroperasi," katanya.
"Terjadinya di kedalaman 60 kilometer. Jadi ini lempengan di dasar dan sama sekali tidak terkait dengan industri minyak dan gas bumi," tambahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H