MALANG, KOMPAS.com - Gerimis membasahi Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Rabu (31/1/2018) malam. Fenomena super blue blood moon atau gerhana bulan total perige yang terjadi ketika itu tidak tampak sedikit pun.
Langit gelap. Warga tidak mendapatkan apa yang ditunggu-tunggunya.
 Kendati demikian, semangat warga menyambut fenomena yang terjadi sekali dalam 2.380 purnama itu tidak surut. Gerimis tidak membuat warga membiarkan fenomena itu berlalu begitu saja.
 Tepat saat gerhana bulan total perige itu diprediksi terjadi, sejumlah warga keluar dari rumahnya. Masing-masing dari mereka membawa alat musik untuk ditabuh, seperti angklung, kulintang, dan djembe.
Mereka berkumpul, lalu membunyikan setiap alat musik yang dipegangnya sehingga membentuk irama.
 Sembari itu, mereka berjalan menyusuri jalan desa dan memasuki gang-gang di desa tersebut. Mereka menyebutnya sebagai tradisi kotekan saat terjadi gerhana, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari.
 Tradisi tetabuhan atau kotekan itu dilakukan masyarakat terdahulu untuk mengejar Batara Kala. Dalam cerita Jawa kuno, gerhana bulan terjadi karena ada Batara Kala yang hendak menelannya.
Baca juga: Fenomena Gerhana Bulan Total Menurut Tradisi Jawa
Oleh karenanya, saat terjadi gerhana bulan, sebagian masyarakat Jawa kuno menjalankan tradisi tersebut untuk mengusir raksasa dan memaksanya untuk memuntahkan bulan yang telah ditelannya.
 "Ini sebetulnya respons spontanitas ya. Mendengar cerita dari masyarakat sini ada tradisi seperti ini. Bulannya dimakan Betoro Kolo gitu," kata Redy Eko Prasetyo, salah satu seniman di desa tersebut.
 "Tetapi, kami meresponsnya pada perspektif membangkitkan potensi kreativitas. Bahwa momentum ini fenomena alam. Tapi, bagaimana fenomena alam ini kita sikapi sebagai spirit bahwa alam memang mempunyai perubahan-perubahan. Alam itu dinamis, maka wilayah-wilayah kreatif juga dinamis," imbuhnya.