Gejalanya meliputi sakit tenggorokan, demam rendah, dan kurang nafsu makan. Tanda-tanda ini diikuti timbulnya lapisan keabu-abuan pada hidung atau tenggorokan, dan pembengkakan tenggorokan yang disebut bullneck.
Pola penyebaran difteri
Bakteri pertama-tama akan menempel pada lapisan sistem pernafasan dan menghasilkan racun yang akan membunuh jaringan sehat. Hal ini dilakukan dengan cara mencegah sel menciptakan protein.
Baca Juga: Punya 1.000 Dosis Obat Difteri, Kemenkes Imbau agar Tak Khawatir
Setelah beberapa hari, bakteri ini dapat membunuh begitu banyak sel sehingga jaringan yang mati tadi membentuk lapisan keabu-abuan di hidung dan tenggorokan. Akibatnya, seseorang yang terinfeksi difteri akan sulit bernafas dan menelan.
Jika racun masuk ke aliran darah, maka difteri dapat ditransfer menuju organ vital seperti jantung dan ginjal. Pada akhirnya, penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan saraf, kelumpuhan, dan gagal napas.
Menariknya, ada dua lapisan infeksi yang terjadi di sini. Di balik bakteri yang menginfeksi manusia, ada virus yang menginfeksi bakteri tersebut sehingga menciptakan toksin.
Mengatasi difteri
Vaksin difteri yang sudah dibuat sejak tahun 1920-an membantu sistem kekebalan tubuh untuk mengenali toksin. Dewasa ini, orang mendapatkan vaksin difteri dalam vaksin DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus).
Di Indonesia sendiri vaksin ini diberikan sebanyak lima kali, yaitu saat bayi berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 18 bulan, dan usia 4 sampai 6 tahun. Bila vaksin yang diterima sudah lengkap, seseorang dapat terhindar dari penyakit tersebut.
Selain itu, juga disarankan melakukan vaksinasi untuk orang dewasa setiap 10 tahun sekali, meskipun beberapa penelitian mengatakan bahwa tambahan setiap 30 tahun sekali sudah dirasa cukup.