Lucius menduga, strategi yang sama dilakukan Novanto. Langkah ini dilakukan karena Novanto menyadari bahwa dalam hitungan hari, perkaranya sudah disidangkan di Pengadilan Tipikor. Itu artinya statusnya akan menjadi terdakwa.
"Menurut UU MD3, status terdakwa sudah bisa menjadi alasan untuk pemberhentian Novanto," ujar Lucius.
Surat pengunduran diri tersebut dianggapnya bertambah aneh ketika di dalamnya ada perintah terkait sosok yang akan menggantikannya. Dengan menyatakan mundur sebagai Ketua DPR, seharusnya Novanto kehilangan kekuasaan sebagai pimpinan DPR.
(Baca juga : Setya Novanto Disebut Tunjuk Aziz Syamsuddin untuk Jadi Ketua DPR)
"Tetapi di sisi lain dengan adanya perintah menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai penggantinya, Novanto mau mengatakan bahwa dia masih berkuasa," ujar Lucius.
Lucius menyatakan, DPR tak perlu mendengarkan, apalagi menuruti perintah Setya Novanto. Legitimasi Novanto dianggap sudah hilang karena hampir pasti pemberhentian terhadapnya bisa dilakukan karena statusnya sudah menjadi terdakwa.
"DPR tak bisa diatur-atur oleh seseorang yang sudah ditahan karena dugaan melakukan kejahatan korupsi. DPR adalah lembaga terhormat, dan hanya layak untuk dipimpin orang terhormat," ujar dia.
Sabtu (9/12/2017) kemarin, Ketua Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat DPP Partai Golkar Roem Kono membenarkan adanya surat pengunduran diri Novanto dari jabatan Ketua DPR.
"Memang sudah ada pemberitahuan secara tidak resmi bahwa memang betul bahwa ada surat putusan dari Ketua Umum Setya Novanto menunjuk saudara Aziz," ujar Roem seusai acara diskusi di Senayan, Jakarta.
Surat pengunduran diri Novanto ini juga telah disampaikan Ketua Fraksi Golkar Robert Kardinal dalam pertemuan dengan sejumlah fraksi di DPR pada Jumat (8/12/2017).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H