KOMPAS.com -Bertahun-tahun warga penghayat kepercayaan hidup dalam tekanan dan diskriminasi. Putusan Mahkamah Konstitusi soal kolom agama bisa menjadi titik tolak pemenuhan hak sipil mereka sebagai warga negara.
Carles Butar-Butar (17) bercita-cita menjadi seorang polisi setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan di Balige, Sumatera Utara. Tekadnya yang kuat membuat Carles berusaha keras mewujudkan angannya itu.
Kata guru di sekolahnya, nilai seluruh mata pelajaran Carles tidak buruk. Badannya yang tegap dan kebiasaan berdisiplin di rumah maupun sekolah bisa menjadi modal Carles untuk mengikuti jejak sang kakek yang berprofesi sebagai polisi.
Namun, ada satu hal yang dapat menggagalkan langkah remaja Batak itu meraih cita-citanya, yakni status Carles sebagai penganut Ugamo Malim atau seorang Parmalim.
Kisah Carles dalam film dokumenter "Ahu Parmalim" karya Cicilia Maharani dari Yayasan Kampung Halaman, mungkin juga dialami oleh ribuan remaja penghayat kepercayaan di Indonesia.
Situasi yang tak lebih baik pernah dialami oleh Maradu Naipospos (32), seorang pegiat di organisasi kepemudaan Tunas Naimbaru.
Tunas Naimbaru merupakan organisasi pemuda penganut Ugamo Malim di Sumatera Utara. Mereka berupaya melestarikan kepercayaan leluhur yang sudah ada sejak 1870 itu.
Selain itu, mereka juga berupaya menjalin hubungan sosial dengan kelompok lain agar keberadaan mereka diakui.
Jika sekolah tempat Carles belajar telah menjamin hak-haknya sebagai penganut Ugamo Malim, lain lagi dengan sekolah Maradu.
Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada 2001, Maradu sering mendapat perlakuan tidak adil karena mengakui identitasnya sebagai penganut Parmalim.
Ia diwajibkan mengikuti pelajaran agama Kristen dan mengisi buku kebaktian untuk mendapatkan tanda tangan dan stempel dari pengurus gereja sebagai salah satu syarat mendapatkan nilai.