Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surat Sakti dari Balik Jeruji Besi

22 November 2017   11:45 Diperbarui: 22 November 2017   16:07 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapat Pleno DPP Partai Golkar membahas pergantian Setya Novanto dari Ketua Umum dan Ketua DPR, Selasa (21/11/2017).

JAKARTA, KOMPAS.com - Manuver Setya Novanto tak berhenti meski sudah berada di balik jeruji besi. Pada Selasa (21/11/2017), dari dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi, Novanto menulis dua buah surat.

Satu surat ditujukan untuk pimpinan DPR RI, dan satu surat lainnya ditujukan untuk Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar. Kedua surat dibubuhi materai Rp 6000 dan ditandatangani oleh Novanto.

Dalam surat untuk pimpinan DPR, Setya Novanto meminta diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya tak bersalah dalam kasus korupsi proyek E-KTP.

Ia meminta tak dicopot baik sebagai Ketua DPR atau pun sebagai anggota dewan.

(Baca juga : DPR Jangan Ulur Waktu Ganti Setya Novanto)

"Saya mohon pimpinan DPR RI lainnya dapat memberikan kesempatan saya untuk membuktikan tidak ada keterlibatan saya," kata Novanto dalam suratnya.

"Dan untuk sementara waktu tidak diadakan rapat pleno sidang MKD terhadap kemungkinan menonaktifkan saya baik selaku Ketua DPR maupun selaku angota dewan," tulis Novanto.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membenarkan adanya surat itu. Menurut Fahri, surat itu diantarkan langsung oleh pengacara Novanto Fredrich Yunadi.

Rapat Pleno DPP Partai Golkar membahas pergantian Setya Novanto dari Ketua Umum dan Ketua DPR, Selasa (21/11/2017). 

Baca juga : Surat Novanto Tunjuk Idrus Jadi Plt Ketum Golkar Dibacakan di Rapat Pleno 

Fahri mengatakan, surat tersebut memberikan informasi bahwa Novanto sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar mengambil keputusan untuk menunda proses pergantian pimpinan DPR sampai proses hukumnya diselesaikan.

Dengan begitu, surat tersebut menguatkan tak perlu ada pergantian Ketua DPR untuk saat ini.

"Karena beliau masih ketua umum yang sah, maka tentu sesuai dengan Undang-Undang MD3 tidak akan ada surat dari DPP Partai Golkar yang mengusulkan pergantian pimpinan," kata Fahri.

Langsung Dikabulkan

Selain surat kepada pimpinan DPR, Novanto juga mengirimkan surat untuk DPP Partai Golkar. Dalam surat tersebut, Novanto juga meminta tak ada pemberhentian dirinya sebagai ketua umum, baik untuk sementara atau pun permanen.

"Tidak ada pembahasan pemberhentian sementara/permanen terhadap saya selaku ketua umum Partai Golkar," tulis Novanto dalam surat itu.

(Baca juga : Pendukung dan Penentang Novanto Berdebat Keras di Rapat Pleno Golkar)

 

Hanya saja, karena Novanto tak bisa memimpin partai, ia menunjuk Sekjen Golkar sebagai pelaksana Ketua Umum. Sementara untuk menjadi Plt Sekjen menggantikan Idrus, ia menunjuk dua orang, yakni Yahya Zaini dan Aziz Syamsuddin.

Surat itu muncul disela-sela rapat DPP Partai Golkar yang membahas Novanto, Selasa petang. Bagai sebuah surat sakti, keinginan Novanto yang ada dalam surat itu pun langsung terkabul.

Hasil rapat pleno Partai Golkar memutuskan bahwa Novanto tetap menjabat ketua umum partai setidaknya sampai ada putusan praperadilan yang ia ajukan.

Idrus Marham juga ditunjuk sebagai pelaksana tugas Ketua Umum untuk menggantikan tugas Novanto yang tengah berada di tahanan KPK.

"Apabila gugatan Setya Novanto diterima di praperadilan, maka Plt dinyatakan berakhir," kata Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid membacakan putusan rapat.

Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid (tengah) saat menyampaikan kesimpulan rapat pleno DPP Partai Golkar, Selasa (21/11/2017) mala. 

(Baca juga : Jadi Plt Ketum Golkar, Idrus Marham Ditemani Satu Wasekjen)

Jika Novanto memenangkan praperadilan dan lolos dari jeratan KPK, maka ia akan otomatis kembali memimpin Golkar. Namun, jika kalah, baru lah Golkar akan meminta akan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa untuk mencari ketua umum definitif menggantikan Novanto.

Keinginan Novanto untuk mempertahankan jabatannya sebagai Ketua DPR juga dikabulkan oleh Partai Golkar. Rapat memutuskan untuk menunggu praperadilan sebelum mengambil keputusan soal posisi Novanto sebagai Ketua DPR.

Apabila menang praperadilan, Novanto bisa kembali lagi memimpin di Senayan.

"Posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR menunggu putusan praperadilan," kata Nurdin membacakan poin terakhir keputusan rapat.

Kalah

Padahal, sebelum rapat dimulai, Nurdin sempat memastikan bahwa rapat akan menarik Setya Novanto dari posisi Ketua DPR RI. Sebelum rapat dimulai, Nurdin menegaskan bahwa Ketua DPR adalah jabatan politis yang strategis untuk kepentingan rakyat.

Anggota Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) Mirwan Bz Vauly menilai, hasil rapat pleno DPP Partai Golkar itu menunjukkan bahwa Partai Golkar sudah lemah dan kalah dihadapan Setya Novanto.

"Bisa dibayangkan dua pucuk surat Novanto dari tahanan membuat rapat tertinggi di partai Golkar itu harus berakhir tidak berdaya," kata Mirwan.

(Baca juga : PPP Minta Golkar Tak Pertaruhkan Citra DPR karena Pertahankan Novanto)

Mirwan menilai, hasil rapat pleno itu sangat jauh dari harapan publik yang sudah tidak ingin diwakili oleh Setya Novanto.

"Untuk kesekian kalinya Golkar kalah melawan Setya Novanto. Dan sekali lagi Partai Golkar sukses diperdayai dengan dalil dalil kepastian hukum," ucapnya.

 

Pernah Menang

Setya Novanto memang pernah memenangi gugatan praperadilan melawan KPK. Pada 29 September lalu, hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Novanto.

Tersangka kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto tiba di gedung KPK, Jakarta, Minggu (19/11/2017). Ketua DPR tersebut dipindahkan dari RSCM Kencana ke rutan KPK. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/foc/17. 

Hakim menyatakan penetapan Novanto sebagai tersangka dugaan korupsi proyek E-KTP oleh KPK dianggap tidak sah alias batal. Hakim juga meminta KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Novanto.

Hakim Cepi beralasan, penetapan tersangka Setya Novanto tidak sah karena dilakukan di awal penyidikan, bukan di akhir penyidikan.

Hakim juga mempermasalahkan alat bukti yang digunakan KPK untuk menjerat Novanto. Sebab, alat bukti itu sudah digunakan dalam penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis di pengadilan.

(Baca juga : Dibanding Percepat Pemberkasan, KPK Pilih Kuatkan Bukti Seret Novanto)

Namun, sesuai undang-undang, KPK memiliki kewenangan untuk kembali memulai penyidikan terhadap Novanto.

Akhirnya pada 10 November, KPK mengumumkan kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus E-KTP. Surat perintah penyidikan atas nama tersangka Setya Novanto sudah terbit sejak 31 Oktober.

Karena terus mangkir dari panggilan pemeriksaan, KPK pun akhirnya melakukan penahanan terhadap Novanto pada 20 November.

Namun sebelum ditahan, tepatnya pada 15 November lalu, Novanto sudah terlebih dahulu mendaftarkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun