KOMPAS.com -Pura-pura sakit. Begitu anggapan publik pada Setya Novanto.Â
Anggapan itu muncul setelah dua kali Setya Novanto masuk rumah sakit begitu ditetapkan jadi tersangka, yaitu pada 17 Oktober 2017 dan Kamis (16/11/2017).
Namun, jangan hanya menganggap Setya Novanto saja yang pura-pura sakit.
Di lingkungan kerja, Anda mungkin menemukan rekan yang suka pura-pura sakit begitu diberi tanggung jawab lebih.
Baca Juga: Gangguan Jiwa karena Diajari Bohong oleh Orangtua
Menulis pada laman psikomatik.net, Jumat (17/11/2017), dr Andri, SpKJ, FAPM yang bertugas di klinik Psikosomatik RS Omni, Alam Sutera, Serpong, Tangerang mengatakan pura-pura sakit memiliki nama ilmiah malingering.
Dia mengatakan malingering bukanlah gangguan jiwa.
Buku manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Metal atau DSM-5 edisi terakhir terbitan American Psychiatric Association menyebut malingering mendapat kode V, sebagai salah satu kondisi yang mungkin menjadi fokus perhatian klinis.
Motivasi untuk malingering biasanya bersifat eksternal. Misalnya menghindari tugas militer atau pekerjaan, mendapat kompensasi finansial, atau menghindari tuntutan pidana.
"Jadi malingenring adalah perilaku yang disengaja untuk tujuan eksternal. Ini tidak dianggap sebagai gangguan jiwa atau psikopatologi, meski bisa terjadi pada gangguan jiwa lainnya," kata Andri.
Menurut DSM-5, malingering harus dicurigai dengan adanya empat kombinasi.
Keempatnya adalah masalah medikolegal (misal seorang pasien mencari kompensasi karena cidera), perbedaan yang ditandai antara tekanan yang diklaim dan temuan obyektif, kurangnya kerjasama selama evaluasi dan dalam mematuhi perlakuan yang ditentukan, adanya gangguan kepribadian antisosial.
Oleh para ahli, malingering sering dikaitkan dengan gangguan kepribadian antisosial dan ciri kepribadian histrionik. Mereka menyebut orang dengan malingering susah untuk menjaga konsistensi dengan klaim palsu dan berlebihan untuk waktu yang lama.
"Orang yang sedang berpura-pura biasanya tidak memiliki pengetahuan bagaimana harus bersikap dalam menjaga kelainan pura-pura sakit itu agar nampak benar-benar sakit," sambungnya.
Baca Juga: Belajar agar Tak Gampang Dibohongi dalam Festival Bohong Indonesia
Dia menambahkan, wawancara dan pemeriksaan berkepanjangan terhadap orang dengan malingering dapat menyebabkan kelelahan dan mengurangi kemampuannya yang sedang malingering untuk mempertahankan kebohongannya.
"Urutan pertanyaan yang cepat akan meningkatkan kemungkinan tanggapan yang kontradiktif dan tidak konsisten," tegasnya.
Apa perlu mendapat perawatan medis?
Menurutnya, untuk menghadapi orang macam ini dokter tidak perlu melakukan diagnosa medis.
"Berikan kesempatan pada orang yang sedang malingering untuk menyelamatkan muka," ujarnya.
Sebagai alternatf, dokter dapat memberi tahu orang yang malingering bahwa mereka diharuskan menjalani tes invasif dan perawatan yang tidak nyaman.
"Perlu ketegasan dokter dan upaya pihak medis tanpa dicampuri oleh pihak lain dalam menangani kasus malingering. Dokter juga perlu bekerja tanpa tekanan yang bisa mempengaruhi kebebasannya dalam melakukan pekerjaan dokter," ujarnya.
Jika kasus seperti ini terjadi di Indonesia, maka hal ini tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 3. "Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian
Baca Juga: Jokowi: Saya Minta Pak Setya Novanto Mengikuti Proses Hukum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H