Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya. ketika ibu saya selalu bilang begini, "Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?"
Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban. Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis.
Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro. Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh.
Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air."
Itu message, itu penting sekali. Pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda.
"Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot."
Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada.
Menulis sekaligus menjadi cara Anda mengatasi trauma yang Anda alami karena peristiwa kelam itu?
Saya menulis buku itu, bercucuran air mata saya. Sepertinya ayah saya datang, sepertinya beliau dekat sekali dengan saya, seolah-olah saya dibimbing untuk menulis.
Kannulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa. Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ.
Meski (ketika itu) saya belum sembuh (dari trauma), lalu saya bekerja, saya belum sembuh.
Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik.