Selain menyatakan siap menjalankan tugas dengan berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945, pejabat baru itu juga bersumpah akan menolak berbagai macam pemberian.
"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja, dari siapa pun juga yang saya tahu atau patut dapat mengira bahwa dia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya," ucap para kepala daerah tersebut secara serentak.
Sumpah khusus terkait korupsi, gratifikasi, atau suap ini sebelumnya tidak pernah ada. Harapannya, tentu saja para kepala daerah itu akan mengingat bahwa pernah bersumpah demi kitab suci yang pertanggungjawabannya tidak hanya dunia, tapi juga akhirat.
Namun, ternyata sumpah itu tidak menjadi jaminan. Satu tahun empat bulan setelahnya, salah satu gubernur itu tertangkap OTT KPK.
Baiklah. Ternyata sumpah tidak korupsi pun bukan jaminan. Harus ada cara lain yang lebih teknis untuk mencegah korupsi. Jika tidak bisa menutup celah seluruhnya, minimal mempersulit.
Namun hal ini pun sudah banyak dilakukan dan belum berhasil. Celah korupsi ada di bidang perizinan, pengelolaan proyek, pengelolaan sumber daya manusia internal (promosi dan mutasi), dan titik-titik lain yang sudah banyak dipetakan.
Nyatanya pada saat yang sama selalu saja terjadi pengulangan terhadap korupsi di simpul-simpul yang sudah diingatkan itu. Kalau ada frasa “kebohongan publik” maka menurut saya korupsi masih merajalela karena ada ke-ndablek-an publik.
Bagaimana tidak ndablek. Usai pilkada serentak pertama, saya mengajak kawan-kawan bupati dan wali kota terpilih di Jateng untuk datang ke KPK belajar tentang antikorupsi.
Saya sekolahkan mereka. Asumsinya, setelah sekolah mereka sudah sangat paham mana yang boleh dan tidak boleh.
Tapi rupanya pascasekolah, korupsi masih terjadi. Kita ikuti bersama-sama bagaimana KPK melaksanakan OTT di Klaten, Kebumen, dan Kota Tegal.
Tapi tentu saja ikhtiar tidak boleh ada kata menyerah. Ke-ndablek-an ini tidak bisa dibiarkan.