Selain soal penyerangan kejam terhadap dirinya. Novel juga mengungkapkan hal lain, yakni e-mail kepada Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Pol Aris Budiman. E-mail yang kini mungkin mengantarkan Novel ke status Tersangka.
PEKAN lalu di Singapura saya mencoba untuk mewawancarai Novel Baswedan, penyidik KPK yang disiram air keras dan tengah menjalani perawatan di Singapura. Di akhir pekan minggu terakhir Agustus saya mengajukan permohonan untuk dapat bertemu pada tanggal 30 Agustus.
Namun tak disangka, pada Selasa malam, 29 Agustus, alias sehari sebelum wawancara, Pansus hak angket KPK di DPR memanggil Direktur Penyidikan KPK Brigjen Polisi Aris Budiman.
Baca: Aris Budiman: Saya Sangat Dilecehkan Novel Baswedan
Alhasil, pertanyaan yang sudah saya susun untuk Novel berubah banyak. Saya mengikuti detail apa yang disampaikan Aris dan menyusunnya menjadi bahan pertanyaan.
Bergegas ke Singapura
Rabu subuh saya berangkat ke Singapura. Siang harinya saya tiba di suatu tempat rahasia di sekitar Orchard Road.
Sebelumnya sempat beredar sebuah video yang menunjukkan Novel sedang berjalan-jalan di Orchard Road. Video yang diunggah di Youtube itu menyebut Novel sedang berjalan-jalan menghabiskan uang negara.
Saya tanyakan hal ini ke Novel. Ia menjawab, “Video itu dipotong, saat saya hendak pergi ke masjid di kawasan Orchard Road. Padahal, jika diteruskan saya masuk ke Masjid.”
Novel memang tinggal di tempat yang dirahasiakan di sekitar Orchard Road.
Saya pun mulai bertanya kepadanya soal sidang pansus yang yang menghadirkan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman.
Saya bertanya soal penentangan keras Novel terhadap Aris Budiman; kemudian soal e-mail yang berujung pada pelaporan novel dan terancamnya Novel menjadi tersangka; terakhir, soal penyiram kejam terhadap dirinya.
Novel menjawab Aris
Soal e-mail kepada Aris, Novel menjelaskan bahwa itu merupakan respons atas ketidaksetujuan wadah pegawai (semacam serikat pekerja) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Surat itu bukan berisi pendapat pribadi Novel, tetapi aspirasi yang ditulis kembali oleh Novel sebagai ketua Wadah Pegawai di KPK. Isi surat itu tentu tidak bisa saya sampaikan detail di sini, karena tengah dalam proses hukum.
Intinya surat itu berisi penolakan terhadap penyidik senior dari Polri yang akan ditempatkan di KPK.
Saya bertanya kepada Novel, kenapa ia dan wadah pegawai menolak?
Menurut Novel, Aris selalu menghalangi pemeriksaan sejumlah oknum Polri yang tersangkut dalam kasus yang sedang ditangani KPK. Novel tidak mau menyebutkan kasus apa dan berapa banyak.
Catatan Kompas TV, setidaknya di tahun 2016 ada dua kasus yang diduga melibatkan personel Polri.
Pertama, kasus suap penerimaan anggota Polri di Polda Sumatera Selatan. Kasus ini berhenti pada proses etik. Oknum perwira menengah yang diduga terlibat diberhentikan dari jabatannya. Unsur pidana kasus ini tidak dilanjutkan.
Kedua adalah kasus suap di Mahkamah Agung (MA). Saat penggeledahan di rumah Sekretaris MA tahun 2016, Nurhadi, ditemukan uang sebesar Rp 1,7 miliar. Empat ajudan Nurhadi yang menjadi saksi kunci dalam penggeledahan ini sampai sekarang tidak pernah bisa diperiksa oleh KPK.
Tim Aiman di Kompas TV mencoba mewawancarai Aris Budiman untuk mengonfirmasi pernyataan Novel. Namun Aris menolak. Ia mengatakan, pendapatnya sudah ia sampaikan di depan Pansus KPK.
Sementara juru bicara KPK, Febri Diansyah yang dikonfirmasi tim Aiman, menyatakan belum mendengar pernyataan Novel ini.
Aktor intelektualis penyerang Novel di Mabes Polri?
Dalam wawancara dengan Aiman, Novel juga mengungkapkan bahwa tak hanya seorang Jenderal di Mabes Polri yang terlibat. Ada sejumlah pengikut Sang Jenderal yang ikut berperan dalam peristiwa itu. Mereka bertugas di Mabes Polri.
Novel lagi-lagi berkeberatan untuk menjelaskan maksud dari pernyataannya.
Saya menanyakan mengapa Novel tidak memberikan keterangan lengkap soal ini kepada penyidik polisi yang sempat datang memeriksanya pertengahan bulan Agustus lalu?
Bukankah sebuah kejanggalan bahwa Novel tak bersedia menyampaikan apa yang ia tahu soal kasusnya kepada penyidik?
Menurut Novel, ia pernah menyampaikan sebuah informasi kepada polisi tentang orang-orang yang terkait penyerangannya. Namun, polisi menyangkal informasi tersebut dengan mengatakan bahwa orang-orang itu adalah kelompok penagih utang.
Oleh karena itu, Novel yakin, jika ada informasi lain yang ia berikan pastilah informasi itu kembali akan ditepis oleh Sang Jenderal.
Novel berketetapan hati untuk memberikan data detail soal kasusnya hanya kepada Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang belum juga dibentuk hingga kini.
Ia menyatakan, TGPF dibentuk bukan untuk dirinya pribadi, melainkan untuk para penegak hukum yang selama ini banyak mengalami ancaman.
Di ujung wawancara, Novel khawatir, kasus penyerangan terhadap dirinya tak akan terungkap tuntas. Ia berharap pelaku penyerangan terhadap dirinya tidak dibunuh untuk menghilangkan jejak.
Semua pernyataan Novel ini kembali kami konfirmasikan kepada Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono.
Argo enggan berkomentar terkait hal ini. Ia meminta Aiman untuk menanyakan langsung soal ini kepada Novel.
Gigi dan gusi untuk mata Novel
Novel kini masih dirawat di Singapura. Kondisi matanya memprihatinkan. Gusinya ditanam di mata kiri agar sel mata yang terancam buta itu bisa berkembang.
Gigi taringnya ditanam di mata kanan untuk pengganti bagian hitam di mata kirinya yang memang rusak total akibat siraman air keras yang kejam.
Tapi kini, ancaman lain bisa jadi menimpanya, yaitu menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik. Padahal pekan depan, 5 bulan sudah kasus penyiramannya terhadap dirinya terjadi. Belum ada titik terang. Tak ada satupun tersangka yang ditetapkan.
O ya, ada pesan khusus Novel untuk Presiden Joko Widodo. Simak selengkapnya di AIMAN, Senin (4/11/2017), pukul 20.00 wib di Kompas TV.
Saya Aiman Witjaksono.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H