JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berpendapat bahwa etika dalam berkoalisi mestinya dikedepankan oleh seluruh partai politik pendukung pemerintah.
Menurut Tjahjo, jangan ada partai politik yang berada di dalam satu koalisi pemerintahan, namun ternyata tidak kompak dalam mendukung sebuah kebijakan.
"Koalisi pemerintah seharusnya semua keputusan politik bisa dilaksanakan, diamankan, diperjuangkan bersama dan beriringan. Tidak malah ditinggal lari sendiri di tengah jalan," ujar Tjahjo melalui pesan singkat, Jumat (14/7/2017).
"Harusnya mengedepankan kepentingan pemerintah, masyarakat, bangsa dan negara dalam membangun sistem yang konsisten. Tidak elok berkoalisi namun menikam dari belakang," kata dia.
Menurut Tjahjo, sebuah partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan tetapi malah bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah, berarti memiliki kepentingan jangka pendek sendiri.
"Etika politik berkoalisi yang semakin tidak jelas karena kepentingan jangka pendek. Dengan enteng saja meninggalkan etika koalisi," ujar Tjahjo.
Tjahjo menegaskan, pernyataannya itu tidak bermaksud mengaitkan pada dinamika politik yang terjadi belakangan ini.
"Pemahaman etika politik berkoalisi tidak hanya dalam konteks pemerintahan Presiden Jokowi (Joko Widodo) dan Wapres Jusuf Kalla. Pemerintahan siapa pun, kapan pun, komitmen akan konsistensi harus dibangun," ujar Tjahjo.
(Baca juga: Wacana "Reshuffle", Antara Evaluasi Kinerja dan Loyalitas)
Ia juga menolak menjawab saat ditanya apakah pernyataannya tersebut berarti mendorong Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle jabatan menteri yang berasal dari partai politik yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
"Saya tidak pada posisi menyampaikan pendapat kaitan reshuffle kabinet. Itu hak mutlak Presiden yang tidak boleh diintervensi siapa pun," ujar mantan Sekjen PDI-P itu.