Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sri Mulyani dan Kredibilitas Anggaran yang Tercoreng

11 Juli 2017   08:15 Diperbarui: 11 Juli 2017   08:43 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Joko Widodo bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani saat meninggalkan ruangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (4/7/2017). Kedatangan Presiden Joko Widodo dalam rangka kunjungan kerja dan dialog ekonomi dengan para pelaku pasar modal.Juli 2016, Sri Mulyani kembali ke Tanah Air dengan penuh percaya diri. Presiden Joko Widodo memintanya untuk menjadi Menteri Keuangan (menkeu), posisi yang pernah dijabatnya selama kurun 2005 - 2010 saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan pekerjaan terakhir sebagai Direktur Pelaksana World Bank yang membuatnya juga berpengalaman menangani perekonomian dan keuangan global, jabatan panglima fiskal pada kabinet kerja tampaknya akan menjadi tantangan yang menyenangkan.

Kepercayaan diri yang tinggi langsung ditunjukkannya begitu menjabat Menkeu mulai 27 Juli 2016. Sri Mulyani menyindir penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 yang dianggapnya tidak realistis dan tidak kredibel.

“APBN-P 2016 sangat tidak realistis. Jika basis penghitungannya tidak kredibel, maka akan terus-menerus menimbulkan tanda tanya apakah APBN ini realistis. Juga menimbulkan pertanyaan bagaimana pemerintah mengelola APBN-nya apabila terus berasumsi dengan penerimaan yang tinggi tapi sebetulnya tidak mungkin tercapai. Kita membutuhkan anggaran yang lebih kredibel untuk meningkatkan kepercayaan publik,” ujar perempuan kelahiran Lampung 26 Agustus 1962 itu.

Sri Mulyani menilai APBN-P 2016 tidak kredibel karena target penerimaan pajak dipatok terlampau tinggi yakni sebesar Rp 1.539,16 triliun. Padahal, penerimaan negara agak seret dalam dua tahun terakhir. Ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang melemah yang kemudian berimbas pada perekonomian domestik.

Harga komoditas dan perdagangan dunia anjlok, menyebabkan kinerja ekspor Indonesia jatuh ke titik nadir. Begitu pula investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Di dalam negeri, lesunya perekonomian ditandai dengan lemahnya daya beli masyarakat dan jatuhnya kinerja ekspor ke titik nadir.

Lesunya perekonomian akhirnya berdampak pada kinerja perusahaan di berbagai sektor. Pendapatan perusahaan yang menurun tentu memengaruhi pajak yang mereka bayar.

Seretnya penerimaan negara terbukti dari realisasi pendapatan negara pada tahun 2015 yang hanya sebesar Rp 1.504,5 triliun. Nilai tersebut turun dibandingkan realisasi pendapatan negara tahun 2014 yang sebesar Rp 1.550,1.

Dengan memperhitungkan kondisi perekonomian saat itu, Sri Mulyani memperkirakan penerimaan pajak tahun 2016 hanya akan mencapai Rp 1.320 triliun, atau terjadi kekurangan pajak (shortfall ) Rp 219 triliun dari target pajak dalam APBN-P 2016 sebesar Rp 1.539,16 triliun.

Itu pun sudah memperhitungkan asumsi tambahan penerimaan pajak dari uang tebusan kebijakan amnesti pajak.

Untuk membuat anggaran negara menjadi lebih kredibel, doktor ekonomi lulusan University illinois AS itu pun memangkas belanja negara 2016 sebesar Rp 137,61 triliun.

Pemangkasan dilakukan terhadap anggaran pemerintah pusat sebesar Rp 64,71 triliun dan anggaran transfer daerah senilai Rp 72,9 triliun

Ternyata, Sri Mulyani benar, bahkan shortfall pajak yang terjadi jauh lebih besar. Di akhir 2016, penerimaan pajak hanya sebesar Rp 1.285 triliun atau terjadi shortfall sebesar Rp 254,2 triliun.

Dari sisi belanja negara, karena dilakukan pemangkasan, realisasinya pada akhir 2016 hanya Rp 1.860,3 triliun, atau minus Rp 222,6 triliun dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 2.082,9 triliun.

Pemangkasan belanja inilah yang akhirnya menjadi salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 hanya 5,02 persen atau di bawah target sebesar 5,2 persen.

 

Tidak kredibel

Dengan penuh percaya diri pula, wanita tiga anak ini kemudian menyusun APBN 2017. Penerimaan perpajakan tahun 2017 dipatok sebesar Rp 1.464,9 triliun atau meningkat 14 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2016.

Sri Mulyani memperkirakan perekonomian domestik dan global akan membaik pada 2017 seiring meningkatnya investasi dan naiknya harga-harga komoditas ekspor Indonesia.

Di samping itu, kebijakan tax amnesty telah meningkatkan jumlah dan basis wajib pajak sehingga harapannya pajak yang dipungut akan lebih besar dibandingkan sebelum ada kebijakan tax amnesty.

Terlebih lagi, Ditjen Pajak akan memiliki wewenang untuk mengakses langsung rekening milik wajib pajak yang ada di bank dan lembaga keuangan lainnya. Dengan kewenangan ini, Ditjen Pajak akan bisa melacak para wajib pajak yang mencoba menggelapkan pajak atau belum jujur dalam melaporkan kewajiban pajaknya. Tujuannya, Ditjen Pajak bisa memulihkan penerimaan pajak yang selama ini hilang.

Namun, apa yang terjadi? Hingga Mei 2017, penerimaan pajak baru mencapai Rp 468,1 triliun atau 31,2 persen dari target APBN 2017 sebesar Rp 1.498,9 triliun.

Ternyata, kondisi perekonomian 2017 tidak seperti yang diharapkan. Daya beli masyarakat dan investasi belum begitu kuat. Korporasi-korporasi juga masih melakukan konsolidasi sehingga masih berhati-hati untuk melakukan ekspansi.

Itu terbukti dari penyaluran kredit yang hingga Maret 2017 hanya tumbuh 9 persen secara tahunan (year on year/yoy). Dengan kinerja korporasi yang masih lemah, pajak yang mereka setor pun sulit meningkat.

Terlebih, pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak lebih cenderung mengejar dan menekan para wajib pajak eksisting ketimbang mereformulasi aturan pajak atau membereskan sumber utama kebocoran penerimaan negara terutama dari barang-barang selundupan yang membanjiri negeri ini.

Dengan situasi seperti itu, shortfall pajak seperti tahun 2016 pun kembali membayangi anggaran negara 2017. Dan ternyata, potensi shortfall memang ada.

Dalam pembahasan APBN-P 2017, pemerintah memperkirakan terjadi shorfall penerimaan perpajakan sekitar Rp 48 triliun. Alhasil target perpajakan pun direvisi turun, dari Rp 1.499 triliun menjadi Rp 1.451 triliun.

Potensi shortfall pajak tahun 2017 memang lebih kecil dibandingkan tahun 2016. Namun bukan itu persoalannya. Yang menjadi masalah adalah mengapa dalam penyusunan APBN 2017, Sri Mulyani dan pemerintahan Presiden Jokowi tidak belajar dari pengalaman dua tahun terakhir?

Selama pemerintahan Presiden Jokowi, selalu terjadi shortfall pajak cukup besar. Pada pemerintahan sebelumnya, shortfall pajak umumnya tidak banyak dan dapat dikatakan terjadi semata karena faktor alamiah terkait teknis penetapan target yang memang harus bersifat progresif untuk memacu kinerja pemerintah.

Namun dalam pemerintahan Jokowi, shortfall pajak bukan hanya karena faktor alamiah, tetapi juga akibat perencanaan anggaran yang kurang kompeten. 

Jadi pertanyaannya, mengapa Sri Mulyani juga ikut-ikutan tidak kredibel saat menyusun APBN 2017? Sesuatu yang dulu disindirnya kini seolah menimpa dirinya sendiri.

Defisit dan Utang

Bahkan tidak kredibelnya APBN 2017 membawa dampak yang lebih serius. Akibat shortfall pajak tahun 2017, defisit anggaran dan utang pemerintah membengkak.

Itu terjadi karena shortfall pajak tidak diikuti oleh pemangkasan belanja, seperti yang dilakukan pada 2016.

Pada Rancangan APBN-P 2017, pagu belanja negara justru dinaikkan dari Rp 2.080 triliun menjadi Rp 2.111 triliun.

Dampaknya defisit anggaran akan naik menjadi Rp 397 triliun dari sebelumnya Rp 330 triliun. Ini berarti defisit akan mencapai 2,92 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau hampir menyentuh batas maksimal defisit anggaran yang diperbolehkan yakni 3 persen dari PDB.

Postur APBN-P 2017Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN, APBD, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada Pasal 4 (1) menyebutkan, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.

Konsekuensi lanjutan dari pelebaran defisit tersebut adalah membengkaknya utang pemerintah.

Bila dalam APBN 2017, utang baru pemerintah dipatok sebesar Rp 384,7 triliun, maka akibat pembengkakan defisit anggaran, utang baru akan bertambah menjadi Rp 451,7 triliun.

Jika anggaran utang tersebut terealisasi, maka pada akhir 2017, outstanding utang pemerintah akan mencapai Rp 3.962,86 triliun.

Hingga akhir Mei 2017, utang pemerintah telah mencapai Rp 3.672,33 triliun. Rinciannya Rp 2.163,55 triliun dalam denominasi rupiah dan Rp 780,18 triliun dalam valuta asing (valas).

Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau dalam kurun 2015 sampai saat ini, pemerintah pusat telah menambah utang baru senilai Rp Rp 1.063,55 triliun.

Penambahan utang selama kurang lebih 2,5 tahun pemerintahan Jokowi tersebut sudah lebih besar dibandingkan penambahan utang periode 2010 – 2014 yang sebesar Rp 932 triliun.

Dalam catatan di laman facebook pribadinya yang diunggah Jumat pekan lalu, Sri Mulyani mencoba menjelaskan persoalan defisit dan utang ini.

“Saat ini rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah 30 persen dan defisit APBN pada kisaran 2,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara G-20 lainnya. Dengan defisit di kisaran 2,5 persen, Indonesia mampu tumbuh ekonominya di atas 5 persen, artinya stimulus fiskal mampu meningkatkan perekonomian sehingga utang tersebut menghasilkan kegiatan produktif. Dengan kata lain, Indonesia tetap mengelola utang secara prudent (hati-hati),” katanya.

Menurut Sri, Presiden Joko Widodo tengah menggelontorkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Ini merupakan upaya pemerintahannya untuk mengejar ketinggalan pembangunan.

Lambatnya pembangunan memberi beban pada rakyat dan ekonomi dalam bentuk kemacetan, biaya ekonomi tinggi, dan ekonomi daerah tertinggal. Peran pemerintah sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi negeri.

Ketimpangan antara si miskin dan si kaya membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan belanja sosial, yang tujuannya untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal.

Rasio utang sejumlah negara“Pemerintah juga mengupayakan agar defisit tidak melebar dan utang tidak meningkat secara tidak terkendali. Oleh karena itu, penerimaan perpajakan terus digenjot dengan reformasi pajak agar belanja dan biaya pembangunan dapat dibiayai oleh pajak, bukan utang. Pemerintah akan terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit anggaran sesuai aturan perundangan dan dilakukan secara hati-hati dan profesional, sehingga Indonesia dapat terus maju dan sejahtera, namun tetap terjaga resiko keuangan dan utangnya,” kata Sri menutup penjelasannya. 

Kurang efisien

Dilihat dari rasionya terhadap PDB, utang pemerintah memang masih terkendali dan bahkan lebih baik dibandingkan banyak negara lainnya. Penambahan utang untuk pembangunan infrastruktur demi kesejahteraan rakyat, tentu sangat baik. 

Namun, juga perlu diingat bahwa efisiensi investasi untuk mendorong pertumbuhan di Indonesia cenderung makin rendah. Itu terlihat dari nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang makin tinggi, yang disebut-sebut sejumlah ekonom kini sudah mencapai angka 6, lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 5,3.

Ini berarti, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau output sebesar 1 unit kini dibutuhkan penambahan investasi sebanyak 6 unit.

Banyak faktor yang menyebabkan ICOR meningkat antara lain strategi pembangunan yang kurang tepat dan korupsi.

Dengan ICOR yang rendah tersebut, maka semakin banyak berutang, semakin banyak pula dana yang tidak termanfaatkan secara efisien alias bocor.

Jadi, sebelum berutang secara besar-besaran, akan lebih baik bila pemerintah menurunkan angka ICOR terlebih dahulu agar utang tidak banyak yang sia-sia. 

Untuk meningkatkan efisiensi anggaran, apa yang pernah dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti patut dicontoh. Kebijakan anggaran ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikenal dengan sebutan Susinisasi.

Pertama, Menteri Susi menyederhanakan nomenklatur anggaran dengan porsi 80 persen untuk kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder) seperti nelayan dan pelaku ekonomi perikanan lainnya. Sisanya 20 persen barulah untuk anggaran rutin KKP.

Kedua, Menteri Susi menghilangkan program-program yang menggunakan kata bersayap, tidak jelas, dan rancu misalnya pengembangan, peningkatan, pemberdayaan.

Ketiga, dengan langkah-langkah tersebut, Susi bisa memotong anggaran KKP pada 2016 sebesar Rp 5,5 triliun atau 42 persen dari anggaran awal Rp 13,9 triliun. 

Keempat, Menteri Susi menolak segala tawaran utang luar negeri seperti dari World Bank atau IMF yang hanya boleh digunakan untuk peningkatan dan pemberdayaan. Menteri Susi hanya ingin menerima utang yang bisa dipakai untuk investasi atau membeli aset.

“Kalau mau, sebenarnya anggaran negara bisa dipotong lebih dari 40 persen. Di KKP saja bisa kok. Jadi buat apa saya menerima tawaran utang dari luar negeri, lah anggaran KKP saja saya potong,” kata menteri yang banyak melakukan terobosan di sektor perikanan ini kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.

Bagaimana Bu Sri? Mungkin ngopi-ngopidengan Bu Susi bisa memberikan banyak pencerahan...


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun