Dalam catatan di laman facebook pribadinya yang diunggah Jumat pekan lalu, Sri Mulyani mencoba menjelaskan persoalan defisit dan utang ini.
“Saat ini rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah 30 persen dan defisit APBN pada kisaran 2,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara G-20 lainnya. Dengan defisit di kisaran 2,5 persen, Indonesia mampu tumbuh ekonominya di atas 5 persen, artinya stimulus fiskal mampu meningkatkan perekonomian sehingga utang tersebut menghasilkan kegiatan produktif. Dengan kata lain, Indonesia tetap mengelola utang secara prudent (hati-hati),” katanya.
Menurut Sri, Presiden Joko Widodo tengah menggelontorkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Ini merupakan upaya pemerintahannya untuk mengejar ketinggalan pembangunan.
Lambatnya pembangunan memberi beban pada rakyat dan ekonomi dalam bentuk kemacetan, biaya ekonomi tinggi, dan ekonomi daerah tertinggal. Peran pemerintah sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi negeri.
Ketimpangan antara si miskin dan si kaya membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan belanja sosial, yang tujuannya untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal.
“Pemerintah juga mengupayakan agar defisit tidak melebar dan utang tidak meningkat secara tidak terkendali. Oleh karena itu, penerimaan perpajakan terus digenjot dengan reformasi pajak agar belanja dan biaya pembangunan dapat dibiayai oleh pajak, bukan utang. Pemerintah akan terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit anggaran sesuai aturan perundangan dan dilakukan secara hati-hati dan profesional, sehingga Indonesia dapat terus maju dan sejahtera, namun tetap terjaga resiko keuangan dan utangnya,” kata Sri menutup penjelasannya.
Kurang efisien
Dilihat dari rasionya terhadap PDB, utang pemerintah memang masih terkendali dan bahkan lebih baik dibandingkan banyak negara lainnya. Penambahan utang untuk pembangunan infrastruktur demi kesejahteraan rakyat, tentu sangat baik.
Namun, juga perlu diingat bahwa efisiensi investasi untuk mendorong pertumbuhan di Indonesia cenderung makin rendah. Itu terlihat dari nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang makin tinggi, yang disebut-sebut sejumlah ekonom kini sudah mencapai angka 6, lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 5,3.
Ini berarti, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau output sebesar 1 unit kini dibutuhkan penambahan investasi sebanyak 6 unit.
Banyak faktor yang menyebabkan ICOR meningkat antara lain strategi pembangunan yang kurang tepat dan korupsi.