JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini, 28 Juni 2017, harian Kompas genap berusia 52 tahun. Harian Kompas pertamakali terbit pada 28 Juni 1965.
52 tahun, usia yang amat matang dan menjadikan harian Kompas sebagai media tertua di Indonesia. Kiprahnya melintasi tiga zaman: Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Baca:Â Umur Berapa Orang Merasa Paling Bahagia?
Bukan perjalanan yang mudah di sepanjang waktu itu. Kompas mengarungi peristiwa demi peristiwa yang mematangkan dirinya sebagai sebuah media.Â
"Historia magistra vitae est. Sejarah adalah guru kehidupan," kata Cicero, filsuf Yunani.
Peristiwa demi peristiwa dalam rentang sejarah hidup kita acapkali nampak sebagai sebuah kebetulan. Jakob tidak melihatnya demikian.
"Hidup ini seolah-olah bagai sebuah kebetulan-kebetulan, tapi bagi saya itulah providentia Dei. Itulah penyelenggaraan Allah," demikian Jakob memaknai.
Dalam perjalanan selama 52 tahun tersebut koran ini pernah "digebuk" rezim Soeharto dan dilarang terbit pada 21 Januari 1978.
Kompas kembali terbit setelah menandatangani pernyataan tertulis yang isinya permintaan maaf dan berjanji tidak lagi memuat tulisan yang menyinggung penguasa.
Peristiwa ini tidak lantas memandulkan kekritisan Kompas. Jakob Oetama, pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi Kompas di era itu, memiliki cara yang khas dalam mengritik penguasa.
Salah satu yang kerap ia sampaikan adalah "the message gets across". Menyampaikan kritik selalu ada batasnya. Kritik ala Kompas adalah kritik yang halus, santun, secukupnya, terukur, dan tidak berlebihan.
Kritik ala Kompas tidak disampaikan dengan gaya bak singa mengaum.
"Yang penting pesan yang ingin kita sampaikan sampai ke tujuan. The message gets across," kata Jakob.
The legacy
Ada banyak warisan nilai jurnalisme yang diwariskan Jakob dan menjadi tonggak tidak hanya bagi jurnalisme yang dihidupi oleh para wartawan Kompas dan grup Kompas Gramedia tetapi juga warisan yang mewarnai perjalanan jurnalisme Indonesia.
Nilai-nilai yang kemudian menjadi spiritualitas Kompas diwariskan Jakob kepada awak redaksi bukan dalam sebuah panduan yang sistematis, melainkan melalui tuturan dalam berbagai kesempatan saat berinteraksi dengan wartawan-wartawannya.
Kebijakan khas itu bisa dimaknai juga sebagai nilai-nilai hidup yang tertanam pada diri Jakob. Pada diri Jakob, profesi wartawan adalah sesuatu yang tak terpisahkan dalam dirinya.
Kepada para wartawannya, Jakob kerap berpesan bahwa wartawan itu bukanlah sebuah pekerjaan, apalagi pekerjaan yang mengejar karier. Bukan, bukan itu. Menjadi wartawan itu adalah panggilan (vocatio).
Demi panggilan profesi ini, kebesaran jiwa seorang wartawan harus melebihi kebesaran lembaga atau perusahaan tempat ia mengabdikan diri.
Apa saja warisan nilai-nilai itu? Baca selengkapnya dalam sajian VIK "The Legacy".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H