JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak berlakunya kebijakan pendidikan lima hari sekolah dengan durasi delapan jam setiap harinya.
Sebab, kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy tersebut dianggap telah membuat masyarakat resah.
"Mengingat tingginya gejolak serta keresahan yang terjadi di masyarakat, maka dengan ini PBNU meminta kepada Presiden untuk mencabut (membatalkan) kebijakan lima hari sekolah (Full Day School)," ujar Ketua PBNU, Said Aqil Siroj dalam konferensi pers di kantor PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
(Baca:Â Tanggapi Kebijakan Sekolah Lima Hari, PBNU Akan Kirim Surat Ke Jokowi)
PBNU, kata Said, melihat tidak semua orang tua peserta didik bekerja seharian penuh. Khususnya, bagi masyarakat yang tinggal di pelosok.
Kebanyakan dari mereka justru berkerja sebagai petani atau nelayan. Dalam kegiatannya sehari-hari banyak berinteraksi dengan anak-anaknya.
Dengan diterapkannya kebijakan full day school, dikhawatirkan menghilangkan kuantitas interaksi antara orangtua dan anak-anaknya.
Said mengatakan, PBNU menilai bahwa untuk meningkatkan karakter seorang anak tidak harus menambahkan waktu belajar di sekolah.
Sebab juga ada cara lain, yakni dengan bersosialisasi dengan lingkungannya.
"Interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan tempat tinggalnya juga bagian dari proses pendidikan karakter, sehingga mereka tidak tercerabut dari nilai-nilai adat, tradisi, dan kebiasaan yang sudah berkembang selama ini," kata Said.
(Baca:Â "Pembuat Kebijakan Sekolah Lima Hari Coba Sesekali Turun ke Bawah...")