Tidak langsung mengabulkan, Rustono pun kroscek menghubungi kerabatnya di sana. Sang teman pun memberi gambaran pekerjaan di sana. Ia memilih untuk menjadi pengusaha di Negeri Sakura, dibanding harus bekerja dengan jam yang sangat padat.
Perjanjian pun akhirnya disepakati. Pada 1997, Rustono pindah ke Jepang dengan syarat ia ingin membuka usaha. Uniknya, ia membatasi janjinya sendiri. Jika dalam waktu enam bulan usahanya belum menghasilkan laba, maka dengan segala risiko, ia akan putuskan untuk bekerja.
“Saat sampai ke sana belum tahu mau usaha apa, makanya sering pinjam sepeda berkeliling lah nyari inspirasi. Suatu saat lihat susu kedelai, nato, tahu, hampir semua olahan kedelai ada, tapi tak ada tempe!” katanya.
Di minggu pertama, Rustono rutin sering menelfon ibunya di desa untuk memintanya mengajari membuat tempe. Namun, selama empat bulan, mencoba ratusan kali, tak ada yang berhasil.
Saat itu, untuk menghidupi keluarganya, ia memilih bekerja di pabrik makanan selama tiga tahun. Selain untuk mencari uang, ia berniat mempelajari etos kerja orang jepang di pabrik makanan sehingga bisa ia terapkan nanti di pabrik tempenya.
Selama empat bulan tersebut, selepas pulang kantor, Rustono terus mencoba membuat tempe namun hasilnya nihil. Sampai pada musim semi, ia coba menggunakan air gunung dari kuil di sana dan berhasil membuat tempe. Tapi ia tak tahu aman dikonsumsi atau tidak.
Pulang pun menjadi jalan keluarnya, sembari bertemu sang ibu, ia belajar ke lebih dari 60 pengerajin tempe di Jawa. Pengrajin tersebut berada di Jogja, Semarang, Solo, Grobogan, hingga Bogor.
Sepulangnya ke Jepang, dengan membawa pengetahuan membuat tempe yang baik, ia langsung mengaplikasikannya dan menjualnya hanya untuk orang Indonesia.
Akhirnya 20 tempe perama buatannya laku terjual pada orang Indonesia di sana. Walaupun beralasan saling tolong-menolong, akhirnya kurang dari enam bulan ia membuktikan usahanya terjual. Dengan alat seadanya ia pun terus berusaha membuat tempe untuk dijual kepada temen-temannya.
Petaka di musim salju
Suatu saat ketika temannya yang membeli semakin berkurang, Rustono mulai menawarkan pada para pemilik resto, hotel, ckatering, dan sebagainya. Hari pertama ada 10 tempat menolaknya, hari kedua 15 tempat, hari ketiga 20 tempat, dan seterusnya. Tempe yang tak laku pun ia makan sendiri.