Dalam waktu dua tahun terakhir, peta keterpilihan keduanya semakin dinamis. Berbagai hasil survei opini publik menunjukkan dinamika popularitas keduanya.
Survei pada Januari 2015, misalnya, keduanya mampu menguasai hingga 56 persen dari total pilihan masyarakat.
Pada saat itu, Jokowi tergolong dominan, dipilih sekitar 42,5 persen responden dan Prabowo 13,7 persen.
Sisanya merujuk nama-nama lain di luar Jokowi dan Prabowo atau kelompok responden yang belum punya sosok yang diidolakan sebagai pemimpin nasional.
Seiring berjalannya waktu, pola keterpilihan kedua sosok itu jadi makin kompetitif. Belakangan, baik Jokowi maupun Prabowo mampu menciptakan tren peningkatan dukungan.
Sebaliknya, dominasi kedua tokoh itu berimplikasi pada semakin sedikitnya ruang keterpilihan bagi tampilnya sosok lain.
Sebagai gambaran, survei April 2017 menunjukkan 41,6 persen responden menyatakan, jika pemilu dilakukan saat ini, akan memilih Jokowi.
Proporsi tersebut naik sekitar 4 persen dari Oktober 2016.
Sisi lain, Prabowo dipilih 22,1 persen responden, meningkat hingga 5 persen dibandingkan survei periode sebelumnya.
Jika digabungkan, keduanya mampu menguasai 63,7 persen, atau hampir dua pertiga dari total responden.
Proporsi itu tampak semakin membesar dari waktu ke waktu dan pada sisi lain justru meredupkan alternatif pilihan publik pada sosok lain.