Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

China, Raksasa yang Rapuh

23 Mei 2017   23:29 Diperbarui: 24 Mei 2017   06:13 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada abad ke-9 dan 10, perdagangan antara China dan India berkembang pesat. Di saat yang sama, para kaum terpelajar religius dan para biksu justru bergerak maju mundur di antara latar belakang pembelajaran Buddha, Nalanda di sungai Ganges, dan China yang memberikan perkembangan besar di Asia Tenggara, terutama di wilayah perdagangan Sumatera, yakni Sriwijaya yang memiliki kitab suci dan artefak suci untuk dikirim ke China.

Meskipun begitu, para penganut Konfusius mengritik keras masuknya barang-barang mewah seperti kayu cendana, cengkeh, tempurung kura kura dan cula badak. Mereka menganggap barang-barang tersebut tidak bermanfaat.

Biasanya, sutra dan keramik buatan China tidak cukup untuk membayar pembelian barang dari negeri orang. Sementara uang logam tembaga telah diekspor dalam jumlah besar untuk membayar pembelanjaan negara, hingga memicu inflasi dan menjadi momok bagi perekonomian negara tersebut.

Dengan demikian, keliru jika menganggap bahwa China pasti akan menjadi negara hegemoni global, atau hegemoni regional.

Kekaguman kami saat ini atas kekuatan pertumbuhan China terkait langsung dengan tidak kompetennya pemerintahan Donald Trump.

Xi Jinping merupakan puncak dari pemimpin global yang tenang, bermartabat, dan selalu menyadari skala tanggung jawabnya. Trump, sebaliknya, tidak lebih dari bintang TV yang dipaksakan.

Secara terpisah, meskipun China memiliki pencapaian di sektor infrastruktur seperti jalan tol, rel kereta api, pelabuhan dan kota-kotanya yang mempesona, namun ini hanyalah sebuah potret belaka.

Kenyataannya yang mendasar dari negeri ini adalah masyarakatnya suka berutang, sangat tidak kompeten dan “over-built”, yang bakal bisa hancur oleh “gempa” dalam demografisnya sendiri, seperti kebijakan One Child yang mulai menimbulkan dampak negatif selama beberapa dekade dan mengakibatkan pertumbuhan penduduk China mulai menurun'

Advokat terbaik yang memiliki argumen yang mengherankan namun sangat masuk akal atas hal ini adalah mantan Kepala Biro New York Times Shanghai, Howard French, dalam bukunya berjudul "Everything Under the Heavens: How The Past Helps Shape China's Push for Global Power".

Dalam bukunya ini, French memberikan penjelasan yang sangat bagus tentang kesengsaraan demografi yang nyaris tersembunyi.

Inti poin yang dituliskan French adalah bahwa China telah menyia-nyiakan keuntungan dari demografisnya. Tingkat kelahiran (diproyeksikan ada di level 1,51 persen pada 2020) telah turun di bawah tingkat penggantian manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun