Sementara angin musim di seberang Samudra Hindia sulit dipastikan, artinya para pelancong yang berharap bisa mencapai pantai Malabar yang kaya, terpaksa harus menunggu di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara untuk peralihan arah angin, sehingga memperlambat rute perdagangan antar Asia.
Hal ini menyuburkan kehidupan di sepanjang Asia Tenggara oleh para pedagang China yang harus tinggal selama beberapa bulan sebelum mereka kembali ke pelabuhan Guangzhou dan Quanzhou.
Pandai berdagang
Penting untuk dicatat bahwa para pedagang China ini tidak pernah berusaha untuk menduduki dan memonopoli pelabuhan yang mereka kunjungi. Mereka berdagang, menetap dan kemudian berlayar kembali.
Ini sangat berbeda dengan orang-orang Portugis, Belanda, dan Inggris yang kerap menggunakan senjata api untuk menguasai perdagangan.
Memang, orang-orang Hokkien adalah penikmat keuntungan paling besar selama abad ke-11 dan ke-12 di bawah Dinasti Song Selatan yang sangat mendukung perdagangan yang saat ini berbasis di Hangzhou.
Mengasah kemampuan mereka dalam navigasi dan berdagang, mereka telah tumbuh dengan kesiapan menguasai perjalanan perdagangan di negara-negara Asia hingga Afrika Timur dan Teluk Persia.
Pada akhirnya, para pemikir China, terutama penganut Konfusius, telah menentang keras perdagangan tersebut.
Di dalam catatan sastra, para penganut Konfusius dengan sinis menyatakan, ”Para Bangsawan itu memahami suatu kebenaran, orang kecil hanya tahu keuntungan.”
Dengan demikian, ketika para kelompok terpelajar Konfusius dan Mandarin memegang kekuasaan, seperti di masa sebagian besar Dinasti Ming, dan mengendalikan akses ke Kaisar, maka aktifitas perdagangan dan diplomasi pun mengalami masa sulit.
Perlu dicatat juga bahwa ajaran Buddha (agama dari luar dan tersebar lewat laut) juga menjadi tantangan besar bagi ortodoksi dan dominasi konfusianisme. Ketegangan antara ajaran Buddha dan Konfusianisme pun telah memicu ketidapercayaan dan terkadang, menjadi alasan untuk menghancurkan perdagangan Laut Selatan.