Apa lagi yang terlewat?
Meninggalnya Mastini—seperti kalimat ketiga pada paragraf pertama di atas—bisa jadi bukan satu-satunya peristiwa terlewatkan yang seharusnya menjadi momentum berduka bangsa Indonesia.
Waktu Mbok Patmi meninggal, misalnya, berapa banyak orang Indonesia yang berduka?
Jangan-jangan yang ada malah kepo saja—meskipun itu masih untung dibandingkan yang reaktif sibuk mencibir, berprasangka, bahkan menghujat, tetapi belakangan ketahuan tidak tahu apa-apa soal latar belakang panjang peristiwa itu.
Enggak kenal juga dengan Mbok Patmi?
Iyalah, beliau bukan artis, melainkan salah satu perempuan kampung asal Rembang, yang mengembuskan napas terakhir di sela aksi demo melawan pembangunan pabrik semen di daerahnya.
(Baca juga:Wafatnya Patmi dan Solidaritas Perjuangan untuk Para Petani Kendeng)
Yup, Mbok Patmi adalah perempuan yang menjadi salah satu peserta aksi membeton kaki di depan Istana Negara.
Di sela keriuhan Pilkada DKI Jakarta, aksi Mbok Patmi dan tetangga-tetangga sekampungnya itu memang sempat jadi polemik tersendiri. Itu tadi, yang paham jadi ikut mengharu biru, sebaliknya yang tidak paham apa-apa—meski mendaku paham—sibuk berprasangka macam-macam.
Kompas.com saja pernah terhenyak sesaat di tengah keramaian kantin, ketika obrolan tentang demo dan aksi membeton kaki tersebut tak terhindarkan di antara pengunjung kantin yang didominasi kelas menengah.
Saat itu, ada yang menyebut kata Samin terkait aksi menyemen kaki di depan Istana. salah seorang pengunjung kantin dengan spontan bertanya, “Samin? Apa itu?”! Alamak!
Apalah daya, masalahnya, riset Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada 2012 juga mendapati, minat baca Indonesia hanya di kisaran angka 0,001. Artinya, dari 1.000 orang hanya satu orang yang punya minat membaca secara serius.