Pembagiannya adalah 7 persen (Rp 365,4 miliar) untuk pejabat Kementan, 5 persen (Rp 261 miliar) untuk anggota Komisi II DPR, dan 15 persen (Rp 783 miliar) untuk rekanan/pelaksana pekerjaan.
Sedangkan 11 persen (Rp 574,2 miliar) direncanakan untuk Setya Novanto dan Andi Narogong, dan 11 persen (Rp 574,2 miliar) lainnya untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin.
Novanto tak di daftar penerima
KPK menyebut uang suap dalam proyek e-KTP merupakan praktik ijon. Ini berarti uang dibagi terlebih dahulu ke sejumlah pihak, sebelum anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun itu disetujui DPR.
Dalam dakwaan, jaksa KPK pun menyebut sejumlah anggota DPR yang diduga menerima suap dalam kasus korupsi e-KTP ini. Uang itu mengalir ke pimpinan DPR, pimpinan fraksi, anggota Komisi II DPR, anggota Banggar DPR.
Aliran dana juga disebut mengalir ke anggota DPR yang tak terkait proyek, namun dianggap petinggi partai. Ketua Umum Partai Demokrat saat itu, Anas Urbaningrum misalnya. Dia disebut menerima 5,5 juta dollar AS.
Dakwaan juga menyebut Anas sebagai orang yang "mengatur" besaran anggaran proyek e-KTP bersama Novanto, Andi Narogong, dan Nazaruddin.
Namun, nama Novanto tidak terdapat dalam daftar penerima uang pada surat dakwaan kasus e-KTP yang dibacakan jaksa penuntut umum. Nama Nazaruddin juga tidak ada dalam daftar penerima aliran dana kasus e-KTP.
Belum diketahui apakah Novanto dan Nazaruddin telah menerima aliran dana dari 11 persen anggaran yang dialokasikan, atau Rp 574,2 miliar dari yang direncanakan.
Sejauh ini, dakwaan KPK tidak menyebut ada aliran dana kepada kedua orang yang saat itu menjadi bendahara umum di partainya masing-masing.
Meski demikian, KPK mencantumkan nama Setya Novanto dalam dakwaan sebagai orang yang bersama-sama dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, melakukan perbuatan melawan hukum terkait kasus e-KTP.