JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman,dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto, didakwa merugikan negara sebesar Rp 2,314 triliun.
 Kerugian negara tersebut karena adanya penggelembungan anggaran dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). "Terdakwa melakukan dan turut serta melakukan secara melawan hukum dalam proses penganggaran dan pengadaan KTP elektronik," ujar Jaksa Komisi Pemberantasan Irene Putrie,  di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3/2017). Menurut Jaksa, kedua terdakwa diduga terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013. (Baca: KPK Yakin Dakwaan Kasus E-KTP Tak Gugur akibat Surat Edaran MA) Selain itu, keduanya terlibat dalam mengarahkan dan memenangkan perusahaan tertentu untuk menjadi pelaksana proyek e-KTP. Kasus ini berawal pada Februari 2010, di mana setelah rapat pembahasan anggaran dilakukan, Irman dimintai sejumlah uang oleh Ketua Komisi II DPR, Burhanudin Napitupulu. Tujuannya, agar usulan anggaran yang diminta Kemendagri dapat disetujui oleh Komisi II DPR. Dalam pertemuan berikutnya, Irman kembali menemui Burhanudin dan disepakati bahwa pemberianfee untuk anggota Komisi II akan diselesaikan oleh Andi Agustinus, alias Andi Narogong, pengusaha yang biasa menjad rekanan Kemendagri. Hal itu juga disepakati oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini.
 Selanjutnya, Andi dan Irman sepakat untuk menemui Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto, guna mendapatkan kepastian dukungan Partai Golkar dalam penentuan anggaran e-KTP. Novanto kemudian menyatakan dukungannya, dan bersedia mengkoordinasikan pimpinan fraksi lainnya. (Baca: KPK Tak Pertimbangkan Dampak Politik akibat Kasus E-KTP)
 Selanjutnya, sebelum rapat dengar pendapat, Irman melakukan pertemuan dengan Diah dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Selain itu, anggota Komisi II Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Efendi, Teguh Djuwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, dan Arief Wibowo.
 Pertemuan itu juga dihadiri oleh Muhammad Nazaruddin dan pengusaha Andi Narogong.
 Dalam pertemuan itu, Mustoko Weni menyampaikan bahwa Andi akan mengerjakan proyek e-KTP. Mustoko juga menjamin Andi akan memberikan sejumlahfee kepada anggota DPR dan pejabat di Kemendagri.
 Selanjutnya, pada bulan Juli-Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan RAPBN Tahun 2011, salah satunya anggaran proyek e-KTP. Oleh karena itu, Andi beberapa kali melakukan pertemuan dengan beberapa anggota DPR RI, khususnya Setya Novanto, Nazaruddin, dan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
 "Anggota DPR tersebut dianggap representasi Partai Golkar dan Demokrat yang dapat mendorong Komisi II menyetujui anggaran e-KTP," kata jaksa KPK.
 Setelah beberapa kali pertemuan, disepakati bahwa anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Untuk merealisasikanfee kepada anggota DPR, Andi membuat kesepakatan dengan Novanto, Anas dan Nazaruddin, tentang rencana penggunaan anggaran.
 Dalam kesepakatan itu, sebesar 51 persen anggaran, atau sejumlah Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal atau belaja rill proyek. Sedangkan sisanya sebesar 49 persen atau sejumlah Rp 2,5 triliun akan dibagikan kepada pejabat Kemendagri 7 persen, dan anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen.
 Sementara, untuk Setya Novanto dan Andi sebesar 11 persen, serta Anas dan Nazaruddin sebesar 11 persen.
 Kemudian, sisa 15 persen akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
 Dalam proses pengadaan barang, Sugiharto diangkat oleh Irman sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Pada pelaksanaan pengadaan, Sugiharto menetapkan dan menyetujui harga perkiraan sendiri (HPS) yang telah digelembungkan.
Dalam kasus ini, Irman didakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,37 miliar, 877.700 dollar AS, dan 6.000 dollar Singapura. Sementara, Sugiharto memperkaya diri sebesar 3.473 dollar AS. Atas perbuatan tersebut, keduanya didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H