Ini juga topik yang seru disebut-sebut, terutama di media sosial dan lapak berita ekonomi. Maklum, Arab Saudi termasuk yang lumayan “kena banget” dampak anjloknya harga minyak mentah.
Buat pengingat, harga minyak dunia masih bertengger di atas 100 dollar AS per barrel pada Juni 2014, sebelum terjun bebas dan rebound-nya tertahan tak lebih dari kisaran 50 dollar per barrel hingga saat ini.
Padahal, minyak adalah sumber penghasilan utama Arab Saudi. Masalahnya, cadangan minyak negara itu juga bukan yang terbesar di dunia, “hanya” di kisaran seperlima cadangan global.
Pendapatan dari para peziarah jadi sumber utama kedua. Sebanyak-banyaknya minat Muslim sedunia mau berhaji atau umrah, lahan Masjidil Haram punya keterbatasan daya tampung, sekalipun sudah diperluas dan bertingkat-tingkat bangunan yang mengitari Kabah.
(Baca:Saudi Tegaskan Kuota Haji Negara Lain Tak Bisa Dialihkan ke Indonesia)
Sudah begitu, warga negara Arab Saudi selama ini menikmati banyak fasilitas gratis dari negara—mengandalkan pendapatan minyak. Pendapatan per kapita warga Arab Saudi pun terus turun, sejalan dengan kejatuhan harga emas hitam itu.
Kurang lebih dari situasi ekonomi yang terjepit tersebut, jualan pengalaman jadi pusat ladang minyak dunia jadi salah satu peluang “perpanjangan napas” keuangan Arab Saudi. Inilah yang lantas kerap disebut di pemberitaan dan media sosial, terkait rencana investasi Arab Saudi.
(Baca juga:Indonesia dan Saudi, Siapa Membutuhkan Siapa?)
Lewat perusahaan negaranya ke Indonesia, untuk menggarap peremajaan dan pengembangan kilang minyak. Namun, rencana penawaran perdana saham (IPO) Aramco—perusahaan minyak tersebut—masih lebih mengemuka.
Selebihnya, semua masih kemungkinan, mengingat keuangan negara itu pun sedang kocar-kacir, bahkan sekadar untuk membayar gaji para pegawainya. Seperti dikutip dari Bloomberg, Arab Saudi memperkirakan anggaran negaranya akan defisit 7,7 persen pada 2017.
Negara itu pun memperkirakan beragam skenario menyikapi efek anjloknya harga minyak masih akan berkembang hingga 2020. Meski sudah tak lagi menjadi 90 persen pendapatan, minyak lagi-lagi masih jadi harapan utama perekonomian Arab Saudi.