Satai ayam pesanan saya sedang diracik, saat seseorang menepuk pundak saya dengan sapaan mengejutkan. “JTO!”
Dari suaranya, saya langsung menebak. Suaranya khas dan pernah akrab di telinga saya lebih dari 20 tahun lamanya. “Kok seperti suara Dahlan Iskan?”
Ternyata dugaan saya benar. Sosok yang menepuk bahu saya memang Dahlan Iskan yang Menteri BUMN itu. “Eh, Pak Boss…” jawab saya sambil meminta jabat tangan.
“Pak Boss” adalah panggilan saya kepada Dahlan Iskan, sejak 23 tahun lalu. Ketika sudah menjadi CEO PLN, panggilan itu sulit saya ubah. Bahkan setelah menjadi menteri pun, saya terlanjur biasa memanggil “Pak Boss”.
“Waduh, satai pesanan Anda pakai kecap ya? Saya kira pakai bumbu kacang” komentar Dahlan, sembari mengurungkan niatnya untuk mengambil satai dari piring saya.
“Saya pesen satu porsi satai kambing dengan bumbu kacang,” ujar Dahlan kepada ibu berjilbab pemilik warung satai di emper sebuah restoran itu.
“Dari mana Pak Bos?” tanya saya membuka pembicaraan, sembari menyantap satai. “Rapat dengan di DPR,” jawab Dahlan sambil menghela napas panjang.
Melihat ekspresinya yang tidak terlalu bersemangat menceritakan agenda rapatnya di DPR, saya pun berinisiatif membuka topik lain: Evan Dimas, bintang sepak bola Garuda Muda U-19. Saya pilih tema sepak bola, karena selelah apa pun Dahlan, selalu punya energi lebih ketika bicara soal sepak bola.
Kemenangan tim Garuda Muda U-19 mengalahkan Korea Selatan dan penampilan cemerlang Evan Dimas, menurut Dahlan, adalah contoh konkrit bahwa prestasi emas tidak bisa diraih secara instan. Semua butuh proses yang panjang. Butuh kerja keras, butuh sungguh-sungguh 24 karat dan mental yang kuat. “Saya bangga karena pahlawan sepak bola itu lahir dari Sekolah Sepak Bola Mitra Surabaya,” jelas Dahlan.
SSB Mitra Surabaya, adalah sekolah sepak bola yang telah lama dibina Dahlan. Jauh sebelum menjadi menteri, Dahlan telah membina sekolah itu. Dahlan bahkan pernah memimpin klub yang dulu bernama Niac Mitra itu, saat masih menhadi CEO Jawa Pos.
Diskusi yang hangat Rabu menjelang tengah malam (16/10) itu terhenti, karena beberapa orang pembeli tiba-tiba menyela karena minta waktu foto bersama. Mereka berfoto bergiliran sampai Dahlan meninggalkan warung menuju mobilnya. Pedagang satai, tukang parkir, penjual rokok. Semua minta foto bareng. “Bahagia itu ternyata sederhana,” komentar Dahlan sebelum menutup pintu mobilnya.
Joko Intarto @IntartoJoko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H