Presiden Jokowi akhirnya memperkenalkan nama menteri yang masuk dalam Kabinet Indonesia Maju. Posisi  Menteri Komunikasi dan Informatika dijabat oleh Johnny G. Plate.
Melihat terpilihnya pak Johnny sebagai Menkominfo, sontak membuat masyarakat NTT seolah diberikan angin segar seraya menaruh harapan besar kepada beliau agar kelak memperdaulat jaringan telekomunikasi di reksa wilayah NTT.
"Puji Tuhan mama ee.. Semoga nanti Bapa Johnny kas bagus sinyal su ni. Biar sonde(tidak) ka kebun lagi buat cari sinyal" pungkas ayah saya sembari senyum lebar, usai terpilihnya Johnny G. Plate menjadi Menkominfo.
Sebagai putra asli Manggarai, yang rutin melawat ke Nusa Tenggara Timur, saya yakin Pak Johnny G. Plate pun tahu sebagian besar wilayah daerahnya hingga kini belum terpasang tower BTS (Base Transceiver Station) sehingga untuk berkomunikasi dengan orang luar lewat telepon saluler harus memanjat pohon untuk mendapat sinyal dari operator. Itupun terkadang jaringannya mendadak 'asma' dan harus menunggu berjam-jam lagi untuk pulih.
Saya cerita sedikit, untuk didesa saya sendiri, bila hendak mengirim pesan atau kepengen menelpon seseorang, harus kebukit desa sebelah dulu yang jaringannya boleh dibilang lumayan bagus.
Tapi untuk mengkases internet dan ataupun mengirim tulisan ke Kompasiana, memang sudah tidak bisa. Tunggu di kota kabupaten lanyar ria. Hehe
Sulitnya sinyal ditempat saya di Desa Wangkung, Manggarai Barat, dipicu oleh letaknya yang berada dilembah, sementara tower BTS letaknya persis berada di balik bukit. Memang jaraknya tidak begitu jauh, sekitar 10 Km. Maka untuk menikmati jaringan yang baik, ya harus ke desa tetangga dulu.
BTS sendiri merupakan suatu elemen dalam jaringan saluler (cell network) yang dibangun oleh operator telekomunikasi Indonesia dan berperan penting sebagai pemancar dan penerima signal dari handphone pengguna (MS/Mobile station).Â
Maka untuk menghindari roaming internasional, masyarakat Indonesia di perbatasan terpaksa harus panjat pohon atau mendaki ke wilayah perbukitan agar bisa mendapatkan sinyal.
Sebagian besar wilayah NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste belum terpasang tower BTS sehingga untuk berkomunikasi lewat telepon saluler harus naik pohon/ bukit dulu. Ya, naif memang!
Kesulitan mengakses jaringan ini juga menjadi masalah tersendiri bagi dua lembaga pendidikan didesa saya, yaitu SDK Pacar dan SMPN 1 Macang Pacar serta satu Puskesmas.Â
Banyak informasi terkait pendidikan dan kesehatan tidak bisa diperoleh segera. Para guru dan tenaga medis selalu terlambat mengetahui informasi baru dari Dinas Pendidikan, maupun pihak-pihak yang kerap berhubungan dengan mereka.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, masyarakat diwilayah perbatasan yang menggunakan telepon genggam, umumnya terkena roaming internasional dari Timur Telkom, operator milik Timor Leste, baik roaming panggilan, SMS maupun roaming data.Â
Maka untuk menghindari roaming internasional, masyarakat Indonesia di perbatasan terpaksa harus panjat pohon atau mendaki ke wilayah perbukitan agar bisa mendapatkan sinyal.
Ketiadaan jaringan BTS ini juga yang menyebabkan masyarakat NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dilematis.
Kendati memang sinyal dari Telkom Timor milik Timor Leste cukup kuat, tapi kosekuensinya terkena roaming internasional bila memakai jaringan asal Timles tersebut."
Sekali SMS, Rp. 3000 langsung ludes. Apalagi untuk telpon, isi pulsa Rp 100.000 langsung habis dalam waktu singkat.
Pengalaman masyarakat NTT dan mungkin wilayah timur Indonesia lainnya yang belum tercover sinyal atau istilahnya berdaulat sinyal sangat berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sudah menikmati pesatnya pertumbuhan industry telekomunikasi, layanan 4G.
Kondisi ini tentunya sangat memperihatinkan, saat pemerintah menggaungkan soal pemerataan ekonomi tidak sejalan dengan pembangunan infrastruktur industri telekomunikasi yang masih timpang dengan daerah lainnya, terkhusus kami di NTT dan wilayah Indonesia timur lainnya.Â
Apalagi pembangunan suatu daerah tidak bisa lepas dari peran telekomunikasi dengan pembangunan jaringan hingga kepelosok negeri.
Setidaknya selain di NTT, terdapat 149.000 lokasi yang membutuhkan layanan jaringaan komunikasi dan internet dengan kapasitas cepat guna mendukung kebutuhan dalam dunia pendidikan, kesehatan, pemerintah daerah, pertahanan dan keamanan.Â
Oleh sebab itu, pemerataan infrastruktur dan layanan komunikasi ke seluruh wilayah Indonesia merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H