Kenyataannya jumlah penduduk miskin di desa yang sebagian besar petani tidaklah menurun signifikan, bahkan laporan BPS jumlah penduduk miskin di NTT hanya menurun 0,12% dari tahun sebelumnya.
Demikian pula jika dilihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakann salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. NTP di NTT cendrung fluktuatif dan turun 104,48 (0,32%) per Maret 2018.Â
Tapi subsektor peternakan hingga Hortikultura dan Tanaman Perkebunan Rakyat menunjukan tren menanjak dan cukup baik dari tahun sebelumnya, yakni naik 1, 26%.
Berikut grafisnya:
Melihat kondisi ini, disuatu sisi produksi dan produktivitas meningkat namun pada sisi lain kesejahteraan petani tidak meningkat atau tetap bergelut dalam kemiskinan. Tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya besar.Â
"Rasanya ada mata rantai pembangunan dalam upaya pengentasan kemiskinan di NTT yang terlewatkan terkhusus di bidang pertanian".
Disini saya coba meringkas tiga poin yang menjadi permasalahan pokok yang mengakibatkan tujuan pembangunan pertanian dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan petani belum mencapai hasil yang memuaskan.
Pertama, program yang dijalankan lebih dominan bersifat politis dibandingkan aspek strategis dan ekonomis. Pada kenyataannya banyak program -program yang telah dirancang banyak menguntungkan pihak-pohak tertentu.Â
Penentuan lokasi dan penerimaan manfaat program lebih fitentukan oleh 'kedekatan spesial' kelompok-kelompok tertentu baik sesama elit birokrasi maupun legislatif.
Kondisi ini tentunya sangat sulit untuk menilai efektiviyas program yang dilakukan dari aspek strategis dan ekonominya. Dan tentunya mengakibatkan kecemburuan sosial antar kelompok petani dan menurunnya tingkat kepercayaan kepada pemerintah.
Kedua, penilaian keberhasilan program pembangunan lebih ditekankan terhadap penyerapan anggaran.Â