Mohon tunggu...
Komnas Pengendalian Tembakau
Komnas Pengendalian Tembakau Mohon Tunggu... -

Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (National Commission on Tobacco Control – NCTC) didirikan pada 1998, merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beranggotakan 23 organisasi dan individu terkemuka yang memiliki tujuan bersama, yaitu melindungi Bangsa Indonesia dari bahaya kecanduan merokok.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Lurah yang Membebaskan Desanya dari Asap Rokok

28 September 2015   13:26 Diperbarui: 28 September 2015   13:41 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Rancangan Undang-Undang Kebudayaan memasukkan kretek sebagai warisan budaya Indonesia. Artinya, kretek disamakan dan sederajat dengan Borobudur, sendra tari, angklung, wayang golek, wayang kulit, batik. Karena sejajar itu pula kretek harus dipromosikan agar warisan itu tak menghilang ditelan zaman.

Tentu saja ini kontraproduktif. Pasal tentang kretek itu baru muncul beberapa pekan lalu ketika Rancangan itu akan dibahas di paripurna DPR. Sejak rancangan ini masuk ke parlemen pada 2007, soal kretek tak pernah ada. Pasal itu masuk seiring dengan tak kunjung dibahasnya RUU Pertembakauan, yang pada 2012 juga masuk ke DPR tanpa melalui jalur legislasi yang resmi.

Kontraproduktif karena negara ini sedang berupaya mengendalikan produk tembakau. Kretek tentu salah satunya. Undang-Undang Kesehatan 2009 jelas menyebut bahwa produk tembakau adalah zat adiktif yang harus dikendalikan peredaran dan konsumsinya. Peraturan Pemerintah juga sudah membatasi iklan luar ruang, televisi, cetak, dan audio-visual. Jika kretek dipromosikan atas nama warisan budaya, ia akan bertabrakan dengan banyak beleid lain.

Urusan rokok, tembakau, dan produk turunannya memang tak henti menuai kontroversi. Ada cukai Rp 100 triliun per tahun tapi kerugian akibat merokok Rp 200 triliun—menurut Kementerian Kesehatan. Industri rokok membuka lapangan pekerjaan, dan orang paling kaya datang dari industri ini, tapi rokok juga jadi salah satu pengeluaran terbesar penduduk miskin dibanding biaya pendidikan.

 Tanpa perlu membaca stastistik yang rumit, tersebutlah Idris yang melihat bagaimana rokok membuat anak-anak tak sekolah. Dia Kepala Desa Bone-Bone di Enrekang, Sulawesi Selatan. Laki-laki ceking ini memulai sesuatu dari yang kecil tapi mengubah hidup orang di desanya. Ia membuat aturan radikal melarang rokok pada 2000. Saya bertemu dia pada suatu hari yang berhujan di rumahnya, di lereng Gunung Latimojong, yang dingin pada 2012.

 Bagi saya, Idris adalah contoh bagaimana pemimpin yang bekerja sesuai porsi dan semestinya dengan cara yang efektif. Sebermula ia melihat anak-anak di desanya kian banyak di sawah dan kebun, menggembala sapi atau membantu ayah-ibu mereka mencangkul.

 Anak-anak itu tak bersekolah dengan alasan tak punya biaya. Itu dalih orang tua mereka dengan mulut mengepulkan asap rokok. Idris, waktu itu baru lulus kuliah dari Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar, tak habis pikir dengan cara pandang tetangganya: bagaimana bisa mereka mampu membeli rokok tapi ogah mengeluarkan uang untuk pendidikan anak-anak mereka.

 Ia sendiri delapan bersaudara. Ayah-ibunya petani tapi lima anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi. Setelah bolak-balik gagal tes pegawai negeri sipil, dan bekerja di beberapa perusahaan di luar Sulawesi, Idris pulang kampung. Ia sampai pada kesimpulan: rokok telah memiskinkan orang Bone-Bone sehingga anak-anak tak terjamin pendidikannya.

 Idris bukan sarjana yang rumit dengan teori. Ia tak berpikir bahwa sekolah bisa mengubah hidup seseorang karena ijazah bisa mendatangkan kekayaan. Bagi dia, pendidikan itu penting sebagai bekal hidup, pembentuk jalan berpikir, menjadi kaya atau miskin. “Jika kita jadi kaya akibat sekolah, itu bonus saja,” katanya. Sebuah pernyataan yang tak saya duga.

 Dan Idris kemudian terpilih jadi Kepala Desa, karena Bone-Bone memekarkan diri sewaktu ia menjabat kepala dusun, bergaji Rp 1 juta. Sehari-hari ia berkebun jagung dan kopi, juga beternak sapi. Dan yang dia lakukan pertama kali adalah membuat aturan larangan merokok di Bone-Bone. Tamu atau warga lokal mesti keluar kampung jika ingin merokok. Sanksinya kerja sosial membersihkan got dan meminta maaf saat salat Jumat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun